RANGKAIAN HARI RAYA GALUNGAN
Kiranya kita semua telah mengetahui bahwa Galungan merupakan hari raya
bagi Umat Hindu khusus- nya di Bali, memperingati kemenangan d h a r m a melawan
ad h a r m a.
Walaupun hari raya Galungan ini jatuh pada hari Rebo Keliwon uku Dungulan,
tetapi kegiatan-kegiatannya dimulai sejak hari Kamis Wage uku Sungsang sampai
dengan hari Rebo Keliwon uku Pahang.
Diantaranya yang dianggap mempunyai arti penting adalah:
Sugihan Jawa.
Sugihan Jawa jatuh pada hari Kemis Wage uku Sungsang yaitu 6 hari sebelum
hari raya Galungan dan merupakan hari penyucian terhadap tempat tempat suci
serta perumahan.
Penyucian disini dilakukan secara sekala
yaitu membersihkan halaman Pura, Paibon, Sanggar Perumahan, bangunan-bangunan
suci (pelinggih) termasuk mengganti tikar, tempat air (caratan, coblong) dan
tempat sesajen (bokor) yang telah ru- sak, demikian pula dilakukan terhadap
halaman serta bangunan perumahan.
Selanjutnya penyucian niskala,
dengan jalan menghaturkan sesajen-sesajen yang bersifat pembersihan kehadapan
Ida Sanghyang Widhi dalam berbagai prabawa-NYA yang dipuja di tempat
bersangkutan.
Bagi Sang Sadaka (W i k u) hal ini dilakukan dengan mengucapkan puja mantra
(angrgha puja), sedang- kan para yogin dengan jalan melakukan yoga
semadhi.
Upakara-upakaranya:
a. Untuk bangunan-bangunan yang dianggap utama seperti : Padmasana, Meru,
Sanggar Kemulan, Taksu, Pengijeng/Penunggun Karang dan lain-lain yang dianggap
perlu: Pebersihan/pesucian, Canang buratwa- ngi/yang lain dan tirtha-anyar
(yeh-anyar). Dapat pula dilengkapi dengan ajuman dan daksina/sesuai dengan yang
telah berlaku.
b. Untuk pelinggih yang lebih kecil: Canang buratwangi/ yang lain
sesuai dengan apa yang telah berlaku.
c. Penyucian secara umum adalah: Pererebuwan,
sebagai berikut: Alasnya adalah sebuah kulit sesayut diisi sebuah
tumpeng-guru (puncaknya berisi telur itik yang direbus), 3/5/7 buah tumpeng
biasa dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, sampian nagasari, sampian guling
(sejenis sampian peras) 2 buah, soroan alit (peras, tulung, sesayut), sanggah
urip Penyeneng, lis-bebuu, pengeresikan/pesucian, canang genten/ yang lain
dan rerasmen/lauk pauk ikannya ayam panggang/ guling itik/guling babi.
Jumlah tumpeng serta penggunaan ikannya di sesuaikan dengan pelinggih yang
akan dihaturi, misalnya: Untuk Padmasana, Kemulan dan yang lain
menurut kebiasaan, tidak boleh memakai guling babi. Dalam hal ini akan diusahakan memakai guling
itik putih, dan jumlah tumpeng-nya 5/7 buah.
Ada kalanya dibuat beberapa buah banten Pererebuwan, umpama: Untuk di Padmasana 1 soroh, untuk di Sanggar Kemulanl soroh, untuk
Pengijeng/Penunggu Karang 1 soroh dan lain-lainnya sesuai dengan kemampuan
seseorang.
Pelaksanaan Upacara.
Setelah dilakukan pembersihan secara sekala, lalu dilakukan pembersihan secara
niskala yaitu menghaturkan banten Pererebuwan.
Bila hanya membuat satu soroh banten
Pererebuwan, hendaknya diusahakan mempergunakan ikan ayam atau itik, dan
terlebih dahulu dihaturkan di Padmasana kemudian di Sanggar Kemulan/Meru/Gedong,
Taksu dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil, akhirnya dilebar
di jaba disertai dengan segehan dan tetabuhan.
Cara menghaturkan adalah: Mencipratkan
tirtha-anyar menghaturkan pesucian/pebersihan-penyeneng-mencipratkan tirtha
anyar dengan lis-bebuu mencipratkan tirtha pengelukatan-pebersihan (bila ada)
akhimya meng-ayab- kan banten pererebuwan; Demikian dilakukan berkalikali
sampai selesai.
Setiap kali selesai menghaturkan, diakhiri
dengan menuangkan te tabuhan.
Setelah selesai menghaturkan banten
pererebuwan, barulah menghaturkan sesajen sesajen seperti yang tercan tum diatas, diakhiri dengan
persembahyangan dan mohon tirtha sebagaimana biasa.
Sugian - Bali.
Sehari setelah Sugian Jawa disebut Sugian
Bali yaitu pada hari Sukra Keliwon uku Sungsang, dan merupakan penyucian
terhadap diri sendiri.
Upacara yang bersifat khusus boleh
dikatakan tidak ada dan agar diusahakan mohon tirtha pengelukatan kehadapan
Sang Sadaka/sulinggih disamping bersembahyang serta mohon tirtha sebagaimana
biasa pada hari-hari Keliwon
Hari Penyekeban
Hari Penyekeban
Tiga hari menjelang Galungan yaitu pada
hari Minggu Paing uku Dungulan disebut hari Penyekeban.
Dikalangan masyarakat yang pemikirannya
masih sederhana, hari ini merupakan saat untuk memetik serta menyimpan
buah-buahan/pisang pada tempat yang khusus (n y e k e b), agar masak pada hari
Raya Galungan.
Tetapi bila ditinjau lebih lanjut dimana
disebutkan bahwa pada hari itu Sanghyang Tiga Wisesa dalam wujud Sang Kala Tiga
turun ke dunia untuk mengganggu manusia, bahkan mungkin akan menjadi
mangsa-NYA.
Yang dimaksud Sanghyang Tiga Wisesa tidak
lain dari pada Ida Sanghyang Widhi dalam mencipta, memelihara serta memerelina,
yang lebih dikenal dengan sebutan Sanghyang Tri Murthi,
sedangkan Sanghyang Kala Tiga adalah wujud krodha-NYA yang dikenal dengan
sebutan Rudra; (Tuhan memiliki 11 sifat Rudra).
Oleh karena itu setiap orang hendaknya
waspada dan berusaha menjaga kesucian dirinya (’’pratiyakaanyekung ikang adnyana nirmala).
Bagi para Sulinggih dan Sang Sujana akan
berusaha melaksanakan tapa-berata dan semadi. Hal tersebut kiranya agak sulit
dilaksanakan oleh masyarakat umum terutama dikalangan pekeija, anak-anak dan
wanita.
Tetapi dengan mengarahkan aktivitasnya
pada kegiatan-kegiatan yang bersifat spiritual yaitu menyediakan serta
menyimpan buah-buahan untuk kepentingan y a d n y a dan bukan semata mata
untuk dimakan, diharapkan mereka dapat memusatkan pikiran kearah kesucian,
mendekatkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi sehinga terhindar dari gangguan
dan bencana yang disebabkan oleh Sang Kala Tiga.
Dengan demikian hari Penyekeban tidak
hanya berarti saat untuk memetik serta menyimpan (nyekeb) buah-buahan, tetapi
mempunyai pula arti mengasingkan diri atau mengendalikan diri untuk mencapai
kesempumaan hidup.
Sebagai perbandingan dikenal pula adanya
hari Pengekeban dalam upacara Meningkat Dewasa, Potong Gigi, Perkawinan
ataupun Mebudgala (Medwijati),
yaitu orang bersangkutan dipingit,
diasingkan dalam suatau kamar yang khusus dan dijaga serta dirawat
sebaik-baiknya. Pada dasamya upacara ini merupakan persiapan bagi seseraong
dalam menghadapi masa peningkatan terhadap kedudukan nya di masyarakat; Dari
anak-anak menjadi dewasa/ remaja, dari remaja menjadi orang tua dan seterusnya.
Kiranya Sanghyang Kala Tiga yaitu Tuhan dalam
wujud Krodha/Rudra, tidak semata-mata bertujuan untuk merusak serta
memusnahkan Umat Manusia, melainkan untuk menguji iman-nya dalam menegakkan d h
a r m a. Bila ternyata manusia telah lengah dan menginjak-injak dharma, maka
BELIAU akan mengutus Dewa-dewa/Awatara turun menjelma ke dunia untuk
membimbing manusia kembali menegakkan dharma.
Peristiwa ini banyak disebutkan dalam
ceritera- ceritera misalnya: Ramayana, Maha Barata, ataupun Sutasoma dan di
Bali dikenal ceritera Mayadanawa.
Berdasarkan uraian diatas dapat
dikemukakan bahwa hari Penyekeban mempunyai arti: Suatu usaha untuk
mengendalikan diri agar dapat menegakkan dharma yang merupakan perahu untuk
mencapai kehidupan yang lebih sempuma. Sebagaimana halnya buah-buahan yang
mentah menjadi masak akan mempunyai rasa yang lebih enak.
Hari Penyajaan.
Sehari setelah Penyekeban yaitu pada hari
Senen P o n uku Dungulan disebut Penyajaan. ’’Penyajaan” mungkin berasal dari
kata ’’jajah”, mendapat awalan ”pe” dan akhiran ”an” menjadi ’’Penyajahan” yang
berarti penguasaan penaklukan atau mengalahkan. Haus-nya huruf ”h” sering di
jumpai dalam bahasa Bali, misalnya: Sedahan menjadi Sedaan; Wayahan menjadi
Wayan dan lain- lainnya.
Selanjutnya yang dimaksud disini adalah
Penyajahan penguasaan Sang Kala Tiga terhadap diri manusia, atau sebaliknya
manusia dapat mengalahkan Sang Kala Tiga.
Untuk dapat mengalahkan Sang Kala Tiga
kiranya tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kewaspadaan, kesucian dan
mendekatkan diri mohon perlindungan kehadapan Ida Sanghyang Widhi.
Demikianlah seperti disebutkan didalam lontar Sunarigama, para Sulinggih dan Sang Sujana hendaknya meningkatkan tapa-barata serta semadi-nya, sedangkan masyarakat akan meningkatkan kegiatannya dalam mempersiapkan alat-alat untuk kepentingan yadnya (sesajen) misalnya: Membuat/menggoreng jajan, kacang kacangan, saur, serundeng, membuat tumpeng, penek serta berjenis-jenis sam- pian/jejahitan dari janur.
Demikianlah seperti disebutkan didalam lontar Sunarigama, para Sulinggih dan Sang Sujana hendaknya meningkatkan tapa-barata serta semadi-nya, sedangkan masyarakat akan meningkatkan kegiatannya dalam mempersiapkan alat-alat untuk kepentingan yadnya (sesajen) misalnya: Membuat/menggoreng jajan, kacang kacangan, saur, serundeng, membuat tumpeng, penek serta berjenis-jenis sam- pian/jejahitan dari janur.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut benar-benar
telah menyita waktu terutama dikalangan wanita.
Kadang- kadang mereka tidak sempat menyiapkan makanan sebagaimana biasa karena
seluruh perhatiannya terpusat pada pekerjaan-pekerjaan untuk keperluan yadnya
serta sesajen. Dan ini adalah salah satu cara bagi karma-marga dan bakti marga
untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan.
Didalam Bhagawad Gita disebutkan:
Brahma’rpanam brahma havir
brahmagnau brahmana hutam
brahmai va tena gantavyam
brahmakarmasamadhina. (IV. 24).
brahmagnau brahmana hutam
brahmai va tena gantavyam
brahmakarmasamadhina. (IV. 24).
Artinya:
Baginya pelaksanaan korban suci adalah
Brah- man (Tuhan), korban itu sendiri adalah Brah- man.
Disajikan oleh Brahman didalam api dari
Brahman. Brahman (Tuhan itu yang akan dicapai bagi ia yang menyadari bahwa
Brahman (Tuhan) ada didalam pekerjaannya.
Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan sejak
hari Minggu (Penyekeban) lebih banyak dikeijakan oleh kaum wanita sedangkan
kaum pria boleh dikatakan belum mempunyai kegiatan serta pekerjaan-pekerjaan
yang khusus, kecuali menyiapkan bahan-bahan seperti janur, ron, ambu, ataupun
semat. Perlengkapan tersebut ada kalanya dibeli di pasar
sehingga kaum pria benar-benar tidak mempunyai kegiatan yang berhubungan
dengan yadnya.
Dalam hal ini maka yang patut dilaksanakan adalah: ’’Bersikap waspada,
sabar, dapat menahan kekesalan, terutama menghindari pertengkaran sebagai
usaha nyata untuk menegakkan kesejahteraan/ kedamaian. Seperti halnya pada hari
Penyekeban maka pada hari inipun belum ada kegiatan yang berupa upacara atau
persembahan dan masih merupakan persiapan-persiapan saja.
Penampahan Galungan.
Pada hari Selasa Wage uku Dungulan disebut Penampahan Galungan. Bagi
masyarakat, hari ini merupakan saat untuk memotong (nampah) khewan seperti
ayam, itik, terutama babi.
Pada hari ini barulah tampak adanya kegiatan-kegiatan yang menyeluruh
diantara anggota keluarga; Kaum pria sejak pagi hari telah memotong babi serta
khewan lainnya, kemudian membuat olahan (sate, lawar, urutan dan lain-lain),
dilanjutkan dengan membuat Penjor yang dipasang pada sore hari. Kaum wanita sibuk
membuat sesajen (metanding), memasang busana pada bangunan-bangunan suci
dilengkapi dengan caniga serta gantung-gantungan. Kegiatan-kegiatan tersebut
merupakan kelanjutan dari kegiatan sejak hari Penyekeban dan Penyajaan/
Penyajahan.
Seperti telah dikemukakan bahwa sejak hari Penyekeban serta hari Penyajaan Sanghyang Kala Tiga berusaha untuk
menggoda serta menaklukkan manusia dan pada hari ini (hari panampahan) Beliau
berusaha untuk menjadikan makanannya (nadah).
’’Makan” (nadah) disini mempunyai pengertian takluk, berada dalam
kekuasaannya sehingga kata- kata serta tingkah laku manusia diatur oleh Sanghyang
Kala tidak berdasarkan p i k i r a n/m a n a h. Orang yang telah takluk, berada
dalam kekuasaan Sanghyang Kala akan berbuat, berkata mengikuti kehendaknya,
menimbulkan kekacauan, kesedihan, penderitaan atau bertentangan dengan d h a r
m a, karena memang demikian kodrat-nya.
Misalnya: Dewi Kunti telah tega menyerahkan pu- tranya (Nakula) kepada Dewi
Durga; Duryadana sampai hati membuang saudara sepupunya (pandawa) sampai
teijadi pertumpahan darah dan masih banyak cerita-cerita lainnya.
Tetapi seseorang yang menyadari dirinya dan kewajiban sebagai manusia, akan bersikap waspa- da, berusaha
untuk menaklukan Sanghyang Kala serta Bhuta Kala lainnya, kemudian mengembalikan
kepada asal-NYA.
Kewajiban sebagai manusia adalah menegakkan kesejahteraan, dan kedamaian
bagj umat Hindu disebut d h a r m a serta y a d n y a sebagai pelaksanaannya.
Yadnya mempunyai arti yang luas dan cepat dilaksanakan sesuai dengan desa,
kala, patra.
Adalah suatu kenyataan bahwa pada hari Penampahan berbagai jenis jajan, buah-buahan, masakan (olahan) telah tersedia, siap untuk dimakan. Tetapi
mereka yang sadar akan kewajiban, tidak segera menikmati makanan tersebut,
melainkan tetap mendahulukan kepentingan yadnya.
Seperti diketahui sejak Penyekeban (Minggu Paing uku Dungulan) Sanghyang
Tiga Wisesa telah turun ke dunia dalam wujud Kala.
Oleh karena itu yadnya yang diselenggarakan sesuai pula dengan sifat Beliau
yaitu bhuta-yadnya.
Jadi pengertian n a m p a h pada hari penampahan tidak semata-mata
memotong khewan tetapi yang lebih penting artinya adalah menyucikan,
membebaskan Sanghyang Kala Tiga sehingga kembali pada wujud semula yaitu Ida
Sanghyang Tiga Wisesa/Ida Sanghyang Widhi sebagai Pencipta, Pemelihara dan
Pemeralina. Dengan demikian keharmonisan, kesejahteraan Buwana-agung dan
Buwana alit dapat diwujudkan, berarti pula d h a r m a dapat ditegakkan.
Bagi masyarakat Hindu di Bali penyucian tersebut diwujudkan dengan
penyelenggaraan upacara Bhuta- yadnya terutama dipekarangan rumah dan terhadap
diri sendiri termasuk pusaka-pusaka berupa senjata. Setelah menyelenggarakan
upacara tersebut dilanjutkan dengan memasang p e n j o r, didepan rumah,
sebagai tanda kemenangan dharma melawan adharma.
Ditinjau dari segi fungsinya, penjor adalah sebagai lambang pertiwi/gunung
dengan segala hasil yang memberi keselamatan, serta kesejahteraan bagi kehidupan
di dunia, sedangkan sesajen beserta perlengkapan lainnya merupakan pula
’’sarin-tahun” yang dipersembahkan kehadapan Ida Sanghyang Tiga Wisesa/Ida
Sanghyang Widhi, yang dalam Siwaisme disebut S i w a dan bagi masyarakat Hindu
di Bah disebut Bhatara diGunung Agung.
Upakara yang dipergunakan;
a. Untuk di pekarangan rumah.
a. Untuk di pekarangan rumah.
Di halaman Merajan menghaturkan segehan agung dan nasi sasah berwarna putih
5 tanding, berwarna merah 9 tanding, berwarna hitam 4 tanding, ikannya daging
babi yang dimasak menjadi ”urab-barak”, ”urab putih”, digoreng, sate, disertai
dengan sambel dan garam, kemudian di- lengkapi dengan 3 buah canang genten/yang
lain dan tetabuhan tuak,arak, berem serta air. Demikian pula dihalaman rumah
dan halaman pintu masuk pekarangan menghaturkan sesajen yang sama.
Sesajen tersebut dihaturkan kehadapan Sang Buta Galungan baik yang ada
dihalaman merajan, rumah maupun didepan pintu masuk pekarangan. Oleh karena itu
ada yang menghaturkan disatu tempat yaitu di halaman rumah, dilengkapi dengan sanggah bersusun tiga
masing-masing berisi sesajen berupa nasi sasah berwarna putih, ikan serta
perlengkapan lainnya seperti diatas.
Sesajen ini dihaturkan kehadapan Sanghyang Kala Tiga. Upacara ini
diselenggarakan pada siang hari sebelum makan siang/sebelum menghaturkan banten jotan (banten saiban).
diselenggarakan pada siang hari sebelum makan siang/sebelum menghaturkan banten jotan (banten saiban).
b. Untuk Senjata dan diri sendiri.
Upacara diselenggarakan pada siang hari atau pada sore hari sebelum
matahari terbenam (sandikala), bertempat di halaman rumah.
Upakara-nya adalah:
byakala, prayascita dan sesayut peminyak kala.
byakala, prayascita dan sesayut peminyak kala.
Upakara ini terlebih dahulu dihaturkan kehadapan Sang Bhuta-Tiga
(Sanghyang Kala Tiga) kemudian barulah ditujukan kepada senjata dan diri
sendiri yaitu semua keluarga yang sudah meketus, lalu dilanjutkan dengan
memasang penjor, lamak/ caniga kemudian bersembahyang di Merajan atau disuatu
Pura yang telah ditentukan. Pemasangan penjor
dapat pula dilakukan setelah mengha- turkan labahan/segehan kepada Sang Bhuta
Ga- lungan, demikian pula pemasangan lamak/caniga serta gantung-gantungan pada
pelinggih.
Penjelasan.
b.l. Sesayut pemiyak-kala.
Alasnya adalah sebuah aled-tebasan, diatasnya diisi dua gundukan nasi (kanan dan kiri) dibatasi dengan dua buah
ujung pandan wong) yang letaknya berlawanan arah, di- lengkapi dengan jajan,
buah-buahan, lauk- pauk (rerasmen), sampian nagasari, penye- neng, pengeresikan
dan canang-genten/yang lain.
Ada pula yang melengkapi dengan sesayut lara-melaradan yaitu
perlengkapannya seperti diatas tetapi nasinya tidak berbentuk gundukan, tidak
memakai pandan-wong melainkan dialasi dengan tiga buah tangkih disusuni
lauk-pauk.
Letak tangkih sedemikian rupa sehingga membentuk segi-tiga (pangkal tangkih
diletakkan ditengah-tengah).
Khusus untuk senjata dipergunakan sesayut pasupati seperti didepan (Tumpek
Landep).
.2. P e n j o r.
Secara umum p e n j o r dibuat dari se batang bambu yang ujungnya
melengkung kebawah dihiasi dengan janur/ambu, daun- daunan, buah-buahan, bunga
dan pada ujungnya digantungi hiasan yang khusus dibuat dari janur/ambu.
Penjor dipasang pada tempat-tempat upacara atau disepanjang jalan menuju
tempat upacara.
Ditinjau dari segi fungsinya ada dua enis penjor yaitu:
Ditinjau dari segi fungsinya ada dua enis penjor yaitu:
Penjor berfungsi sebagai dekorasi. Dalam hal ini yang diutamakan adalah
keindahan dan bertujuan untuk memeriahkan upacara. Oleh karena itu
perlengkapan termasuk hiasan, jumlah serta penempatannya tidak ditentukan dan
dapat dipergunakan pada upacara-upacara baik yang bersifat umum/ nasional
ataupun keagamaan.
-
Penjor yang mempunyai nilai spiritual dalam upacara keagamaan.
Yang dimaksud disini adalah penjor yang mempunyai hubungan erat dan arti
sim- bolis dalam upacara-upacara keagamaan, misalnya penggunaan Penjor pada
hari raya Galungan, piodalan dan sebagainya. Oleh karena itu perlengkapan
termasuk hiasan, jumlah serta penempatannya disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan Agama, khususnya Agama Hindu, antara lain
-
Pada ujungnya digantungi hiasan yang disebut ’’sampian penjor” lengkap
dengan pelawa, porosan serta bunga, sedangkan pada bagian pangkalnya kira-kira
175 cm diatas tanah ditempeli sebuah sanggah sebagai tempat sesajen.
Untuk hiasan selain mempergunakan janur/ambu serta daun-daunan yang umum,
sedapat mugnkin mempergunakan daun cemara, daun endong, daun/bunga perijata, paku-pipid, demikian pula buah- buahannya adalah: padi, jagung,
kelapa, ketela, pisang serta pala-bungkah-pala gantung, pala wija lainnya,
dilengkapi dengan uang, tebu, beijenis-jenis jajan dan dalam beberapa hal pada
ujungnya dilengkapi dengan kain berwarna putih atau sesuai dengan arah mata
angin (di arah Timur berwarna putih, di Selatan berwarna merah, di Barat
berwarna ku- ning dan seterusnya). Jumlahnya 1 sampai 11 buah sesuai dengan upacara yang diselenggarakan,
misalnya:
Pada hari raya Galungan tiap rumah memasang sebuah Penjor; Pada waktu piodalan di Pura maka pada pintu masuk Pura dipasang dua buah penjor (kanan dan kiri), pada sanggar pesaksi 1 buah, pada panggungan 1 buah demikian pula pada upacara-upacara lainnya. Demikianlah pada hari raya Galungan selain penjor yang dipasang disebelah kiri pintu masuk rumah mungkin juga dipasang penjor yang berfungsi sebagai de- korasi misalnya di Bale banjar dan tempat tempat keramaian lain.
Pada hari raya Galungan tiap rumah memasang sebuah Penjor; Pada waktu piodalan di Pura maka pada pintu masuk Pura dipasang dua buah penjor (kanan dan kiri), pada sanggar pesaksi 1 buah, pada panggungan 1 buah demikian pula pada upacara-upacara lainnya. Demikianlah pada hari raya Galungan selain penjor yang dipasang disebelah kiri pintu masuk rumah mungkin juga dipasang penjor yang berfungsi sebagai de- korasi misalnya di Bale banjar dan tempat tempat keramaian lain.
Galungan.
Sehari setelah Penampahan yaitu pada hari Buda Keliwon uku Dungulan disebut Galungan, merupakan perayaan kemenangan dharma melawan a-dharma.
Bila diperhatikan upacara-upacara yang telah diselenggarakan sejak Sugian Jawa sampai dengan Penampahan, adalah merupakan penyucian terhadap tempat tinggal seperti tempat pemujaan termasuk kekuatan-kekuatan sinar-sinar Suci Tuhan, Leluhur yang distanakan pada tempat tersebut, pekarangan rumah, serta penyucian terhadap Sang Hyang Kala Tiga (wujud krodha dari pada SanghyangTri Murthi) dan diri sendiri termasuk s e n j a t a yang dimiliki. Ini berarti penyucian terhadap Buwana agung dan Buwana alit.
Upacara yang fungsinya hampir sama adalah dalam rangkaian menyambut Tahun Baru Caka, yang lebih dikenal dengan tawur ke Sanga (ke IX).
Sehari setelah Penampahan yaitu pada hari Buda Keliwon uku Dungulan disebut Galungan, merupakan perayaan kemenangan dharma melawan a-dharma.
Bila diperhatikan upacara-upacara yang telah diselenggarakan sejak Sugian Jawa sampai dengan Penampahan, adalah merupakan penyucian terhadap tempat tinggal seperti tempat pemujaan termasuk kekuatan-kekuatan sinar-sinar Suci Tuhan, Leluhur yang distanakan pada tempat tersebut, pekarangan rumah, serta penyucian terhadap Sang Hyang Kala Tiga (wujud krodha dari pada SanghyangTri Murthi) dan diri sendiri termasuk s e n j a t a yang dimiliki. Ini berarti penyucian terhadap Buwana agung dan Buwana alit.
Upacara yang fungsinya hampir sama adalah dalam rangkaian menyambut Tahun Baru Caka, yang lebih dikenal dengan tawur ke Sanga (ke IX).
Sebagaimana diketahui untuk menyambut Tahun Baru Caka diselenggarakan pula
upacara penyucian terhadap Buwana agung dan Buwana alit.
Penyucian terhadap Buwana agung (khususnya di Bali) diwujudkan dengan upacara Melasti/Melis secara bersama oleh suatu Desa dan Bhuta-yadnya (Tawur).
Penyucian terhadap Buwana agung (khususnya di Bali) diwujudkan dengan upacara Melasti/Melis secara bersama oleh suatu Desa dan Bhuta-yadnya (Tawur).
r.
Upacara dipusatkan di suatu tempat seperti Pura Bale Agung, dan perempatan
jalan (catus-pata), kemudian dilanjutkan di pekarangan rumah dengan mendapatkan
”jatu” dari tempat tersebut, berupa Tirtha, ’’nasin-tawur” dan ’’olahan”
(lauk-pauk).
Dengan demikian selain mempunyai tujuan yang berbeda terdapat pula
perbedaan dalam penyelenggaraannya terutama penyucian terhadap Buwana agung,
yaitu : Dalam menyambut Tahun Baru Caka upacara dilakukan secara kolektif
dengan mengambil obyek dan tempat milik bersama/masyarakat, seperti
benda-benda suci (Pratima) dan catus-pata, sedangkan dalam merayakan kemenangan
dharma melawan a-dharma, upacara dilakukan secara individu
dengan mengambil obyek dan tempat milik pribadi, misalnya tempat-tempat
pemujaan keluarga dan pekarangan rumah, demikian pula sarana berupa Tirtha,
nasi, serta lauk-pauk diusahakan sendiri.
’’Dharma” berasal dari bahasa Sansekerta, urat kata ”dhr”, artinya :
’’memelihara”, ’’mengatur”, ’’memangku”; ’’Dharma” berarti : ’’aturan”, ’’kewajiban”,
"kebenaran”, ataupun ’’pekerjaan-pekerjaan yang baik”. Kemenangan
’’darma” berarti mengandung kebenaran,
terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekeijaan yang baik.
Bagi umat Hindu kewajiban dan pekeijaan yang baik adalah y a d n y a ,
sebab yadnya adalah perbuatan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan
yang dapat diikuti oleh manusia. Oleh karena itu dalam merayakan kemenangan
dharma atau merayakan G a- 1 u n g a
n , pelaksanaan yadnya merupakan tujuan
utama, walaupun cara/jalan yang ditempuh, materi yang dipergunakan dan obyeknya
berbeda-beda.
Tetapi Ida Sanghyang Widhi/Tuhan akan mendekati hamba-NYA sesuai dengan
jalan yang ditempuh, seperti disebutkan di dalam Bhagawadgita:
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ’va bhajamy aham
mama vartma ’nuvartante
manusyah partha sarvasah (IV.ll).
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ’va bhajamy aham
mama vartma ’nuvartante
manusyah partha sarvasah (IV.ll).
Artinya :
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama
itu Aku memenuhi keinginan mereka.
melalui banyak jalan manusia mengikuti jalan- KU, O Partha.
Demikianlah pada hari Galungan masyarakat Hindu di Bali akan berusaha
melaksanakan yadnya sebanyak-banyaknya diwujudkan dengan persembahan/pengorbanan
berupa sesajen-sesajenyang ditujukan ke hadapan para Dewa, kekuatan-kekuatan
Alam, Leluhur, binatang-binatang (gumatap-gumitip, sarwa prani) bahkan apa saja
yang dianggap membantu, menemani hidupnya dan berada di sekitarnya, seperti :
tempat sirih, alat-alat bekerja di dapur,^ di sawah, menenun, menumbuk-padi,
sapu, saluran air (song-sombah), kendaraan dan sebagainya. Upacara hendaknya
dilakukan sebelum matahari condong ke Barat.
upakara-upakara yang dipergunakan;
a. Pada pelinggih-pelinggih seperti : Padmasana, Kernulan,
Taksu, Ibu, Penunggun karang dan yang setingkat
termasuk pada penjor, menghaturkan:
1. Tumpeng-penyajaan, adalah : Dua (2) buah tumpeng kecil dilengkapi dengan
rerasmen/lauk-pauk), jajan, buah-buahan, tebu, bantal, dialasi dengan sebuah
ceper dan disusuni sebuah sampian-plaus berisi pelawa, porosan serta bunga.
2. Canang-meraka, adalah berjenis-jenis jajan buah- buahan, bantal, tape,
serta tebu dialasi sebuah ceper/ yang lain dan sampiannya berbentuk kojong
disebut sri-kekili kemudian disusuni sebuah canang-genten/ yang lain.
3. Penek-wewakulan (jerimpen-dewa), adalah sebuah tumpeng yang agak besar dan
perlengkapan lainnya seperti tumpeng-penyajaan (a.l) hanya saja sampiannya
disebut sampian-jaet.
4. Ajuman, adalah sebuah taledan/yang berisi dua buah penek/untek, dan
perlengkapan lainnya seperti tumpeng-penyajaan (a.l), hanya saja sampiannya
disebut sampian sode (bentuknya lebih besar dari sampian plaus).
5. Pengeresikan, adalah sebuah ceper berisi 7 jenis alat penyucian umpama :
daun kembang sepatu yang disisir, jajan yang dibakar, tepung beras berwarna
putih, kuning, minyak wangi, tepung-tawar (ramuan daun
dadap, kunir serta beras yang ditumbuk) dan bija; Tiap jenis dialasi sebuah
tangkih kecil/celemik, kemudian disusuni sebuah sampian yang disebut
payasan. /
(Dibeberapa tempat mungkin saja dipergunakan alat-alat lain
yang fungsinya sama)
b. Di Penaruman/pesambiyangan
menghaturkan:
1. Tumpeng-pengambyan, yaitu sebuah taledan/yang lain berisi dua buah
tumpeng yang agak besar dan perlengkapan lainnya seperti (a.l.), hanya saja
sam- piannya disebut sampian-tangga/sampian-tumpeng, dilengkapi dengan tipat
pengambeyan serta tulung- pengambeyan berisi nasi disusuni rerasmen.
2. Jerimpen, adalah sebuah keranjang dengan garis tengah kira-kira 15 cm, dan
tingginya 150 cm — 160 cm, di bagian atasnya ditempeli beberapa jenis jajan,
misalnya: sirat, begina, kekiping atau yang lain, kemudian di atasnya
diisi sampian disebut sampian jerimpen; Di bagian bawahnya ditutupi kain atau
daun enau yang dijahit dan dialasi wakul. Jerimpen ini disebut jerimpen-jaja,
ada pula yang disebut ”jerimpen-be” (jerimpen ulam” yaitu beberapa jenis s a
t e ditancapkan pada sepotong batang pisang.
Pada hari Galungan sedapat mungkin dibuat dari sate babi, sebagaimana
disebutkan dalam lontar
Sunarigama.
Jenis-jenis sate yang umum dipergunakan adalah:
Sate lembat, dibuat dari daging babi yang diha- luskan dicampur dengan kelapa parut serta bum- bu;
Sate lembat, dibuat dari daging babi yang diha- luskan dicampur dengan kelapa parut serta bum- bu;
Sate-asem dibuat dari jeroan Gejeron seperti: usus, hati dan betuka);
Sate kekuwung dibuat dari kulit dan lemak
yang melekat padanya.
3. Gebogan, adalah sesajen yang perlengkapannya seperti canang-meraka (a.2),
hanya saja jumlahnya jauh lebih banyak, jajan-jajan serta buah-buahnya serba
utuh disusun rapi sehingga tinggi demikian pula sampiannya dibuat agak besar
dan indah.
4. Pajegan, adalah nasi berbentuk pengkonan (gundukan) dialasi dengan dulang
disertai lauk-pauk misal- nya kacang-kacang, saur/serundeng, ikan laut/teri,
telur dadar, daging yang digoreng, pesan-lawar, se- sate, garam, sambel dan
lain-lainnya.
Di atasnya disusuni sebuah canang pengeraos (ada pula yang menyebut
pesucian) yaitu dua buah tale- dan/ceper; Sebuah diantaranya diisi sirih,
kapur, gambir, pinang serta tembakau, sedangkan yang lain berisi bija, air
cendana masing-masing dialasi dengan tangkih/kapu-kapu dan bunga yang ha- rum.
Sirih kapur serta gambirnya ada yang menjadikan lekesan ada pula yang dibiarkan lembaran
sedangkan perlengkapan lainnya masing-masing dialasi dengan sebuah kojong.
5. Ayaban terdiri dari: Peras-penyeneng, sesayut pengambean atau yang lebih
besar dilengkapi dengan pengeresikan, penyeneng,. dan lain-lain sesuai dengan
tingkatan ayaban tersebut.
6. Perlengkapan lainnya adalah : cecepan (kendi berisi air), penastan (mangkuk
berisi air), tigasan (beberapa lembar kain, tetabuhan (tuak, arak, berem), dan
dupa/asep.
Upakara-upakara ini dihaturkan setelah menghatur- kan sesajen pada
pelinggih-pelinggih dan ditujukan kehadapan Ida Sanghyang Widhi dalam berbagai
prabawa-NYA yang berstana ditempat pemujaan tersebut, misalnya Sanghyang Guru
Kemulan (Bha- tara Hyang Guru, Bhatara Ibu) demikian pula untuk di
Perhyangan-perhyangan.
c. Untuk di kamar-kamar/di atas tempat tidur, tempat memasak, mengambil air,
menyimpan beras, padi, di Pengulun-sawah dan lain-lain yang setingkat, meng-
haturkan: Tumpeng-penyajaan, canang meraka dan ajuman.
d. Kepada binatang-binatang (gumatap-gumitip sarwa pra ni), alat-alat yang
dianggap telah membantu serta kekuatan-kekuatan lainnya diberikan sesajen :
Tumpeng^penyajaan dan canang meraka atau seperti di atas,/ sesuai dengan keadaan.
Sesajen-sesajen ini ditujukan kepada para Sedahan yang mengatur atau
memberi kekuatan kepada alat- alat tersebut, umpama : Sedahan Tetani/rayap,
Sedahan semut, Sedahan perabot-paon, sedahan perabot tu- nun dan lain-lainnya.
e. Kehadapan Sanghyang Galungan (Sanghyang Darma) ada pula yang menyebutkan
Bhatara Sarining Galungan menghaturkan :
Sesajen seperti pada a.l sampai dengan a.5, ditambahkan dengan gebogan,
(b.3), pajegan (b 4), penyeneng dan tumpeng yamg agak besar 2 buah dialasi
dengan ta- ledan dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk- pauk dan lainnya
seperti pada pengambeyan tetapi tidak memakai tipat dan tulung-pengambeyan, kemudian
dilengkapi pula perlengkapan seperti pada b.6. Sesajen-sesajen ini ditempatkan
pada salah satu ”bale”, biasanya di Bale-daja atau di salah satu kamar, sebab
keesokan harinya akan ditatab yaitu setelah bersembahyang di Merajan. Tujuannya
adalah untuk mohon agar mendapatkan berkah dari Beliau (Sanghyang Darma).
Setelah itu barulah sesajen-sesajen lainnya diturunkan dari tempatnya (
nyurud).
f. Untuk di lebuh/tempat-tempat menghaturkan segehan dilengkapi pula dengan
tumpeng-penyajaan dan canang-meraka seperti pada (d).
Perlu diingat bahwa setiap menghaturkan sesajen sedapat mungkin dialasi
dengan caniga serta gantung-gantungan setidak-tidaknya ’’pelawa” (daun-daunan).
Demikianlah setelah menghaturkan semua sesajen lalu bersembahyang dan mohon
wangsuh pada sebagaimana biasa dan keesokan harinya pagi-pagi setelah menyucikan diri serta bersembahyang lalu natab banten yang ada di kamar/di Bale-daja mohon berkah kehadapan Sanghyang Sarining Galungan/Sanghyang Darma.
wangsuh pada sebagaimana biasa dan keesokan harinya pagi-pagi setelah menyucikan diri serta bersembahyang lalu natab banten yang ada di kamar/di Bale-daja mohon berkah kehadapan Sanghyang Sarining Galungan/Sanghyang Darma.
Demikian rangkaian dari pada Hari Raya Suci Galungan yang dikutip dari buku upacara Dewa Yadnya yang disusun oleh Ny.I.G.Ag.Mas Putra.
Semoga kita dapat memahami,dan menerapkannya.
Semoga kita dapat memahami,dan menerapkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar