Sabtu, 26 Juli 2014

PANCA  NIYAMA BRATA.

1.SAUCA
2.SANTOSA
3.TAPA
4.SWADHYAYA
5..PRANIDHARA.

1 .Sauca adalah kesucian lahir dan batin.
2. Santosa adalah puas dengan apa yang ada.
3. Tapa berarti memanaskan. setelah kondisi cukup panas maka orang kemudian belajar membalikan
     arah kesadarannya.
4. Swadhyaya adalah kesadaran dibalikan dari sarwa tattwa menuju siwa tattwa.
5. Pranidhara adalah penyrahan diri secara total

Bersama dengan Yama Brata, kelima Niyama Brata diatas menjadi dasar Yoga.
PURUSA -PRADANA.

Purusa adalah kesadaran non materi,atau unsur hidup yang menyebabkan sesuatu hidup.Pradana adalah
ketidak sadaran unsur materi,sebagai wadah kesadara non materi.Dalam pandangan samkhya segala yang lahir dari perpaduan purusa predhana dipengaruhi oleh Tri Guna, yaitu Satwam, Rajas ,Tamas.
Purusa diujudkan sebagai lingga, sedangkan Pradana diujudkan  sebagai Yoni.
Lingga adalah Siwa sedangkan Yoni adalah Shakti.
Secara Umum Lingga - Yoni  dihubungkan dengan Phalus - Vagina. dan dalam perwujudanya Lingga diujudkan dengan batu bulat memanjang berdiri tegak lurus diatas batu berbentuk oval.

Minggu, 06 Juli 2014

PANCA MAHA YADNYA

Panca Maha Yadnya yaitu :
1. Homa adalah persembahan kepada Dewa-Dewa melalui Api.
2. Wali adalah yadnya kepada para Bhuta,roh-roh, dan binatang.
3. Pitra Yandnya sama dengan tarpana,atau pitri.
4. Brahma Yadnya adalah mempelajari Weda-Weda dan kitab suci lainnya.
5. Manusa yadnya menjamu tamu-tamu.

Panca Maha Yadnya ini harus dilakukan setiap hari oleh para Brahmana.
( Leksikon Hindu / IBM.Dharma Palguna )

Jumat, 04 Juli 2014

PANCA DAUH


Panca Dauh Yaitu :
1. Dauh Pisan ( antara jam 06.00 - 08.30 )
2. Dauh Kalih ( antara jam 08.30 - 11.00 )
3. Dauh telu    ( antara jam 11.00 - 13.30 )
4. Dauh pat     ( antara  jam 13.30 - 16.00 )
5. Dauh lima    ( antara jam 16.00 - 18.00 )
Satu dauh terdiri dari 2jam 12 menit.

Kamis, 03 Juli 2014

PRADAKSHINA - PRASAWYA.

Pradakshina adalah proses perputaran mistis mengikuti arah jarum jam, dari timur keselatan, kebarat, ke utara,dan kembali ketinur.perputaran itu terdapat dalam beberapa ritual, dan juga dalam perputaran mantra-mantra.
Sedangkan Prasawya adalah perputaran arah sebaliknya.
Perputaran searah bjarum jam menyebabkan sesuatu yang diputar semakin mendekat kebawah.
Sedangkan perputaran sebaliknya menyebabkan sesuatu yang diputar semakin keatas, / semakin tinggi.Gerakan kebawah adalah gerakan ketanah. Gerakan ke atas adalah gerakan lepas dari tanah.
Banyak teks kelepasan membahas masalah perputaran mistis seperti ini.Perputaran terbalik adalah perputaran mendekat ke Asal.

Minggu, 25 Mei 2014

NGUNCAL BALUNG

Nguncal Balung adalah rentang waktu 35 hari setelah Galungan ( Buda Keliwon Dunggulan s/d Buda Keliwon Pahang ).

Nguncal berarti membuang, melepas.
Balung berarti tulang.

Tulang merupakan pengukuh tubuh,dan tempat melekatnya daging dan otot.
Tanpa adanya tulang, tibuh tidak mempunyai kekuatan.
Jadi Nguncal Balung berarti melepas,membuang tulang atau melepas kekuatan.
Yang dimaksud disini adalah melepaskan kekuatan hyang kala tiga yang turun pada
hari Penyekeban ( Minggu Paing uku Dunggulan ).
Upacara-upacara yang diselenggarakan pada hari Penampahan Galungan bertujuan untuk menyucikan, membebaskan hyang kla tiga dari sifat-sifat kala,sehingga kembali pada wujud semula yaitu Shanghyang Tiga Wisesa/Ida Sanghyang widhi,dan dalam Siwaisme disebut Siwa. Dalam ujud predana Beliau dikenal dengan sebutan Uma Dewi dan dalam wujud " kroda " disebut Durga Dewi/Durga Murti.
"Kala dalam hal ini dapat berarti energi/kekuatan, dapat pula berarti waktu.
Dengan demikian pengertian " nguncal balung" adalah dilepaskannya sifatt-sifat kala dari Sanghyang Kala Tiga baik dalam wujud purusa ( Kala Rudra ) maupun dalam wujud predana ( DURGA MURTI ) sehingga kembali dalam keadaan somia / tenang,atau waktu itu ( selama nguncal balung ) Beliau
dalam keadaan somia/tenang.
Oleh karena itu dianggap kurangbaik untuk memujua Beliau dengan sebutan Sang Hyang Kala,Kala Rudra,Durga Dewi,apalagi Durga Murti, dengan kata lain
 "Tidak baik ila dahat) menyelenggarakan upacara Bhuta Yadnya terutama dalam tingkat Tawaur".

Jumat, 23 Mei 2014

Hari Raya Suci Kuningan

 Hari Raya Suci Kuningan.

Seperti telah diketahui bahwa hari Kuningan jatuh pada hari Sabtu Keliwon uku Kuningan yaitu sepuluh hari setelah Galungan. Dalam lontar Sunarigama disebutkan bahwa pada hari itu para Dewa serta Pitara (Leluhur) melakukan penyucian serta menikmati persembahan (amukti banten), kemu­dian kembali ke Kahyangan dengan memberkahi kesejahteraan dan kedamaian (kedhirgayusaan) Banten/sesajen yang bersifat khusus adalah Endongan, tebog dan selanggi berisi nasi kuning, lauk-pauk serta wayang-wayangan.
Perlengkapan lainnya adalah ’’tamiang” serta ”ko lem” yang digantungkan pada bangunan-bangunan baik tempat tinggal maupun tempat pemujaan. Dalam sumber lain yaitu Purwa Bhumi Kemulan/ Purwa Bhumi Tuwa, dijumpai bahwa salah satu sarana yang menyucikan Dewi Durga serta para Bhuta-kala lainnya sehingga kembali pada wujud semula sebagai Dewi Uma serta Widiadara-widiadari, adalah  bija-kuning.
Oleh karena itu penggunaan nasi-kuning pada hari Kuningan mempunyai persamaan dengan bija-kuning yaitu sebagai penyucian, hanya saja dalam bentuk nasi berfungsi sebagai persem­bahan dan yang menerima menjadi tersucikan, sedangkan dalam bentuk b i j a berfungsi sebagai anugerah yang suci, sebagaimana halnya Tirtha. Penggunaan ”t e b o g” sebagai alas, mempunyai persamaan dengan ”kulit sesayut”, yaitu ditengah- tengahnya terdapat ’’isehan” yang mempunyai arti simbolis perputaran atau peningkatan. Sedang- kan penggunaan ’’wayang-wayangan” yang ditan­capkan pada tebog/nasi adalah sebagai simbol atau bayangan para Dewa serta Leluhur yang telah ber­kenan menerima, menikmati persembahan tersebut. Demikian pula penggunaan ”selanggi”, kiranya mendekati bentuk, tebog, walaupun tengah-te­ngahnya tidak berbentuk isehan melainkan berben- tuk kerucut/gunung.
Selain dari pada itu dipersembahkan pula ”endong- an” yang dianggap sebagai b e k a 1 para Dewa serta
Leluhur untuk kembali ke Kahyangan, sehingga akan diusahakan mengisi nasi/tumpeng, lauk-pauk, jajan serta buah-buahan selengkap-lengkapnya wa­laupun serba sedikit; Demikian pula bentuknya men­dekati ’’kompek” lengkap dengan penjinjingnya. Selanjutnya pemasangan ”tamiang” serta ’’kolem” yang disebut ”s a w e n” adalah merupakan simbul perisai untuk melindungi: tempat-tempat tersebut agar tidak diganggu dimasuki, ditempati para Bhuta- kala/unsur-unsur serta kekuatan-kekuatan yang menimbulkan kekacauan: Dengan demikian diha­rapkan kesejahteraan, kedamaian (d h a r m a) tetap dapat ditegakkan.
Sebagaimana pada hari Galungan maka hendaknya upacara dilakukan sebelum matahari condong ke Barat/tengah-tepet.
Upakara-upakara yang dipergunakan.
Telah dikemukakan bahwa sesajen-sesajen yang bersifat khusus pada hari Kuningan adalah Tebog, selanggi dan endongan, sedangkan tamiang serta kolem adalah sebagai ’’sawen”.
Sesungguhnya yang disebut. Tebog, selanggi serta endongan adalah sejenis jejahitan yang dibuat dari janur atau daun enau dan tidak hanya dipergunakan pada hari Kuningan saja tetapi dipakai pula pada upacara-upacara Dewa-Yadnya lainnya, Upacara Pitra-Yadnya dan Manusa Yadnya, hanya saja jum- lahnya serta isi/perlengkapannya berbeda-beda.
Khusus-pada hari Kuningan yang dimaksud dengan:

T e b o g, adalah sejenis- sesajen yang terdiri dari s a t u (1) buah jejahitan tebog, berisi nasi kuning disusuni kacang-kacang, sesaur, telur-dadar, ikan laut/teri, serta gegorengan lainnya, pelas (bumbu yang dihaluskan dijepit dengan ja­nur secara khusus) lalab, garam, sambel (dialasi dengan tangkih kecil), tipat nasi satu buah dan wayang-wayangan dibuat dari kates muda atau lainnya yang bisa dimakan serta diukir. Tebog ini dialasi dengan sebuah taledan berisi tebu, beijenis-jenis jajan, buah-buahan, serta lauk- pauk yang dimasak agak basah/dibungkus, misal- nya gerang-asem, nyat-nyat, timbungan, pesan- lawar, pesan-isi, pesan-ikan, brengkas, turn dan lain-lainnya, masing-masing dialasi dengan ceper/ tangkih/piring khusus untuk upacara.
Adakalanya tipat nasi ditaruh pada taledan ini, tidak pada tebog.
Diatas jajan serta buah-buahan disusuni sebuah sampian kepet-kepetan (berbentuk tangkih), pe- ngeresikan dan canang burat-wangi/yang lain; Ada pula yang melengkapi dengan canang-penge raos/pesucian seperti pada pajegan. (upakara Galungan b.4).

b. Selanggi, adalah sejenis sesajen yang terdiri dari dua (2) buah jejahitan selanggi; Satu diantaranya berisi nasi putih, sedangkan yang lain berisi nasi kuning dan masing-masing disusuni kacang-ka- cang, sesaur, telur dadar, ikan laut/teri, gego­rengan lainnya, lalab, pelas, sambel dan garam. Kedua selanggi ini dialasi dengan sebuah taledan berisi perlengkapan seperti pada tebog hanya saja lauk-pauknya dijadikan satu tangkih, tidak me­makai pengeresikan/pesucian, tipat nasi, dan wayang-wayangan.
Ada dua jenis selanggi yaitu:

a.                Dibuat dari janur dengan hiasan daun enau yang tua (r o n) atau sebaliknya dibaut dari r o n dengan hiasan janur.
Umumnya selanggi ini dipergunakan pada pe- linggih-pelinggih, diatas tempat tidur dan yang setingkat.

b.                Dibuat dari daun nangka, bentuknya lebih ke- cil demikian pula perlengkapnnya lebih sedikit dan dipergunakan untuk binatang, menyertai segehan dan yang setingkat.
Sebagai alasnya dipakai sebuah ceper.

.c.  E n d o n g a n, adalah sejenis jejahitan berben- tuk kompek/tas, berisi jejahitan serta anyam- anyaman yang disebut: jan-sesapi tulang-lindung, lilit-linting serta lawat buah lawatnyuh.
Selain dari pada itu, khusus pada hari kuningan diisi pula: tumpeng kecil satu buah (dibuat dari nasi putih), rerasmen dialasi dengan kojong/tang- kih, tebu, beijenis-jenis jajan, buah-buahan dan sebuah sampiang pusung (sampian peras kecil).

Penggunaannya.:

1. Pada pelinggih-pelinggih yang utama seperti: Padmasana, Kemulan, Ibu, Taksu, Penunggun- karang, Sanggah pada Penjor dan yang setingkat, menghaturkan: Tebog, selanggi canang- meraka (upakara pada Galungan a. 2), dan endongan; (Endongan digantungkan didepan pelinggih/diatas caniga).

2. Di Pemaruman/pesambiyangan menghaturkan seperti diatas dilengkapi dengan gebogan, beserta runtutannya sesuai dengan keadaan, misalnya seperti pada Galungan.

3. Untuk di kamar-kamar (diatas tempat tidur) tempat memasak, tempat mengambil air, tem­pat menumbuk bumbu, menumbuk padi (le- sung) serta s a p u, tempat menyimpan padi, beras, saluran-air (song sombah), dihalaman merajan, halaman rumah, didepan rumah, kepada binatang (gumatap-gumitip (sarwa prani) dan lain-lain yang dianggap perlu menghaturkan: selanggi dan canang-meraka (Je- nis selanggi disesuaikan, ada yang dibuat dari janur/ron ada yang dibuat dari daun nangka).

4. Kehadapan para Leluhur menghaturkan: se­perti pada di pemaruman/di pesambiyangaru Upakara ini ditempatkan di salah satu ka­mar atau disalah satu bangunan khusus di merajan.

5.Untuk anggota keluarga diuasahakan natab: Tebog, sesayut prayascita, penyeneng dan lain-lain runtutannya. Upakara-upakara ini terlebih dahulu dihaturkan kehadapan Sang dumadi kemudian dilebar
( dimakan ) bersama sama.

Demikian pelaksanaan Hari Raya Suci Kuningan semoga dapat diterapkan sesuai petunjuk,dan desa kala
patra. Om santih , santih, santih. Om.
*
­


/





Kamis, 22 Mei 2014

 RANGKAIAN HARI RAYA GALUNGAN
Kiranya kita semua telah mengetahui bahwa Galungan merupakan hari raya bagi Umat Hindu khusus- nya di Bali, memperingati kemenangan d h a r m a me­lawan ad h a r m a.
Walaupun hari raya Galungan ini jatuh pada hari Rebo Keliwon uku Dungulan, tetapi kegiatan-kegiatannya dimulai sejak hari Kamis Wage uku Sungsang sampai dengan hari Rebo Keliwon uku Pahang.
Diantaranya yang dianggap mempunyai arti penting adalah:
 Sugihan Jawa.
Sugihan Jawa jatuh pada hari Kemis Wage uku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan dan merupakan hari penyucian terhadap tempat tempat suci serta perumahan.
Penyucian disini dilakukan secara sekala yaitu membersihkan halaman Pura, Paibon, Sanggar Perumahan, bangunan-bangunan suci (pelinggih) termasuk mengganti tikar, tempat air (caratan, coblong) dan tempat sesajen (bokor) yang telah ru- sak, demikian pula dilakukan terhadap halaman ser­ta bangunan perumahan.
Selanjutnya penyucian niskala, dengan jalan menghaturkan sesajen-sesajen yang bersifat pem­bersihan kehadapan Ida Sanghyang Widhi dalam berbagai prabawa-NYA yang dipuja di tempat bersangkutan.
Bagi Sang Sadaka (W i k u) hal ini dilakukan dengan mengucapkan puja mantra (angrgha puja), sedang- kan para yogin dengan jalan melakukan yoga semadhi.
Upakara-upakaranya:

a.  Untuk bangunan-bangunan yang dianggap utama se­perti : Padmasana, Meru, Sanggar Kemulan, Taksu, Pengijeng/Penunggun Karang dan lain-lain yang di­anggap perlu: Pebersihan/pesucian, Canang buratwa- ngi/yang lain dan tirtha-anyar (yeh-anyar). Dapat pula dilengkapi dengan ajuman dan daksina/sesuai dengan yang telah berlaku.

b.  Untuk pelinggih yang lebih kecil: Canang buratwangi/ yang lain sesuai dengan apa yang telah berlaku.

c.   Penyucian secara umum adalah: Pererebuwan, sebagai berikut: Alasnya adalah sebuah kulit sesayut diisi sebuah tumpeng-guru (puncaknya berisi telur itik yang direbus), 3/5/7 buah tumpeng biasa di­lengkapi dengan jajan, buah-buahan, sampian nagasari, sampian guling (sejenis sampian peras) 2 buah, soroan alit (peras, tulung, sesayut), sanggah urip Penyeneng, lis-bebuu, pengeresikan/pesucian, canang genten/ yang lain dan rerasmen/lauk pauk ikannya ayam panggang/ guling itik/guling babi.
Jumlah tumpeng serta penggunaan ikannya di sesuai­kan dengan pelinggih yang akan dihaturi, misalnya: Untuk Padmasana, Kemulan dan yang lain menurut kebiasaan, tidak boleh memakai guling babi. Dalam hal ini akan diusahakan memakai guling itik putih, dan jumlah tumpeng-nya 5/7 buah.
Ada kalanya dibuat beberapa buah banten Pererebuwan, umpama: Untuk di Padmasana 1 soroh, untuk di Sanggar Kemulanl soroh, untuk Pengijeng/Penunggu Karang 1 soroh dan lain-lainnya sesuai dengan kemam­puan seseorang.

Pelaksanaan Upacara.
Setelah dilakukan pembersihan secara sekala, lalu dilakukan pembersihan secara niskala yaitu mengha­turkan banten Pererebuwan.
Bila hanya membuat satu soroh banten Pererebuwan, hendaknya diusahakan mempergunakan ikan ayam atau itik, dan terlebih dahulu dihaturkan di Padmasana kemu­dian di Sanggar Kemulan/Meru/Gedong, Taksu dan se­terusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil, akhirnya dilebar di jaba disertai dengan segehan dan tetabuhan.
Cara menghaturkan adalah: Mencipratkan tirtha-anyar menghaturkan pesucian/pebersihan-penyeneng-mencipratkan tirtha anyar dengan lis-bebuu mencipratkan tirtha pengelukatan-pebersihan (bila ada) akhimya meng-ayab- kan banten pererebuwan; Demikian dilakukan berkalikali sampai selesai.
Setiap kali selesai menghaturkan, diakhiri dengan menu­angkan te tabuhan.
Setelah selesai menghaturkan banten pererebuwan, barulah menghaturkan sesajen sesajen seperti yang tercan­ tum diatas, diakhiri dengan persembahyangan dan mohon tirtha sebagaimana biasa.
 Sugian - Bali.
Sehari setelah Sugian Jawa disebut Sugian Bali yaitu pada hari Sukra Keliwon uku Sungsang, dan merupakan penyucian terhadap diri sendiri.
Upacara yang bersifat khusus boleh dikatakan tidak ada dan agar diusahakan mohon tirtha pengelukatan kehadapan Sang Sadaka/sulinggih disamping ber­sembahyang serta mohon tirtha sebagaimana biasa pada hari-hari Keliwon                
Hari Penyekeban
Tiga hari menjelang Galungan yaitu pada hari Minggu Paing uku Dungulan disebut hari Penyeke­ban.
Dikalangan masyarakat yang pemikirannya masih sederhana, hari ini merupakan saat untuk memetik serta menyimpan buah-buahan/pisang pada tempat yang khusus (n y e k e b), agar masak pada hari Raya Galungan.

Tetapi bila ditinjau lebih lanjut dimana disebutkan bahwa pada hari itu Sanghyang Tiga Wisesa dalam wujud Sang Kala Tiga turun ke dunia untuk meng­ganggu manusia, bahkan mungkin akan menjadi mangsa-NYA.

Yang dimaksud Sanghyang Tiga Wisesa tidak lain dari pada Ida Sanghyang Widhi dalam mencipta, memelihara serta memerelina, yang lebih dikenal dengan sebutan Sanghyang Tri Murthi, sedangkan Sanghyang Kala Tiga adalah wujud krodha-NYA yang dikenal dengan sebutan Rudra; (Tuhan me­miliki 11 sifat Rudra).
Oleh karena itu setiap orang hendaknya waspada dan berusaha menjaga kesucian dirinya (’’pratiyakaanyekung ikang adnyana nirmala).

Bagi para Sulinggih dan Sang Sujana akan berusaha melaksanakan tapa-berata dan semadi. Hal tersebut kiranya agak sulit dilaksanakan oleh masyarakat umum terutama dikalangan pekeija, anak-anak dan wanita.

Tetapi dengan mengarahkan aktivitasnya pada ke­giatan-kegiatan yang bersifat spiritual yaitu menye­diakan serta menyimpan buah-buahan untuk ke­pentingan y a d n y a dan bukan semata mata untuk dimakan, diharapkan mereka dapat memusatkan pi­kiran kearah kesucian, mendekatkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi sehinga terhindar dari ganggu­an dan bencana yang disebabkan oleh Sang Kala Tiga.
Dengan demikian hari Penyekeban tidak hanya ber­arti saat untuk memetik serta menyimpan (nyekeb) buah-buahan, tetapi mempunyai pula arti menga­singkan diri atau mengendalikan diri untuk menca­pai kesempumaan hidup.

Sebagai perbandingan dikenal pula adanya hari Pengekeban dalam upacara Meningkat Dewasa, Potong Gigi, Perkawinan ataupun Mebudgala (Medwijati),

yaitu orang bersangkutan dipingit, diasingkan dalam suatau kamar yang khusus dan dijaga serta dirawat sebaik-baiknya. Pada dasamya upacara ini merupakan persiapan bagi seseraong dalam menghadapi masa peningkatan terhadap kedudukan nya di masyarakat; Dari anak-anak menjadi dewasa/ remaja, dari remaja menjadi orang tua dan seterus­nya.

Kiranya Sanghyang Kala Tiga yaitu Tuhan da­lam wujud Krodha/Rudra, tidak semata-mata ber­tujuan untuk merusak serta memusnahkan Umat Manusia, melainkan untuk menguji iman-nya dalam menegakkan d h a r m a. Bila ternyata manusia te­lah lengah dan menginjak-injak dharma, maka BE­LIAU akan mengutus Dewa-dewa/Awatara turun menjelma ke dunia untuk membimbing manusia kembali menegakkan dharma.

Peristiwa ini banyak disebutkan dalam ceritera- ceritera misalnya: Ramayana, Maha Barata, ataupun Sutasoma dan di Bali dikenal ceritera Mayadanawa.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa hari Penyekeban mempunyai arti: Suatu usaha untuk mengendalikan diri agar dapat mene­gakkan dharma yang merupakan perahu untuk mencapai kehidupan yang lebih sempuma. Sebagaimana halnya buah-buahan yang mentah men­jadi masak akan mempunyai rasa yang lebih enak.
 Hari Penyajaan.
Sehari setelah Penyekeban yaitu pada hari Se­nen P o n uku Dungulan disebut Penyajaan. ’’Penyajaan” mungkin berasal dari kata ’’jajah”, mendapat awalan ”pe” dan akhiran ”an” menjadi ’’Penyajahan” yang berarti penguasaan penaklukan atau mengalahkan. Haus-nya huruf ”h” sering di jumpai dalam bahasa Bali, misalnya: Sedahan menjadi Sedaan; Wayahan menjadi Wayan dan lain- lainnya.

Selanjutnya yang dimaksud disini adalah Penyajahan penguasaan Sang Kala Tiga terhadap diri manusia, atau sebaliknya manusia dapat mengalahkan Sang Kala Tiga.
Untuk dapat mengalahkan Sang Kala Tiga kiranya tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kewaspa­daan, kesucian dan mendekatkan diri mohon per­lindungan kehadapan Ida Sanghyang Widhi.
Demikianlah seperti disebutkan didalam lontar Sunarigama, para Sulinggih dan Sang Sujana hendak­nya meningkatkan tapa-barata serta semadi-nya, sedangkan masyarakat akan meningkatkan kegiatan­nya dalam mempersiapkan alat-alat untuk kepen­tingan yadnya (sesajen) misalnya: Membuat/meng­goreng jajan, kacang kacangan, saur, serundeng, membuat tumpeng, penek serta berjenis-jenis sam- pian/jejahitan dari janur.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut benar-benar telah menyita waktu terutama dikalangan wanita. Kadang- kadang mereka tidak sempat menyiapkan makan­an sebagaimana biasa karena seluruh perhatiannya terpusat pada pekerjaan-pekerjaan untuk keperluan yadnya serta sesajen. Dan ini adalah salah satu cara bagi karma-marga dan bakti marga untuk menghu­bungkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan.

Didalam Bhagawad Gita disebutkan:

Brahma’rpanam brahma havir
brahmagnau brahmana hutam 
brahmai va tena gantavyam 
brahmakarmasamadhina. (IV. 24).
Artinya:
Baginya pelaksanaan korban suci adalah Brah- man (Tuhan), korban itu sendiri adalah Brah- man.
Disajikan oleh Brahman didalam api dari Brahman. Brahman (Tuhan itu yang akan di­capai bagi ia yang menyadari bahwa Brah­man (Tuhan) ada didalam pekerjaannya.

Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan sejak hari Ming­gu (Penyekeban) lebih banyak dikeijakan oleh kaum wanita sedangkan kaum pria boleh dikatakan belum mempunyai kegiatan serta pekerjaan-pekerjaan yang khusus, kecuali menyiapkan bahan-bahan seperti janur, ron, ambu, ataupun semat. Perlengkapan tersebut ada kalanya dibeli di pasar
sehingga kaum pria benar-benar tidak mempunyai kegiatan yang berhubungan dengan yadnya.
Dalam hal ini maka yang patut dilaksanakan adalah: ’’Bersikap waspada, sabar, dapat menahan kekesalan, terutama menghindari pertengkaran sebagai usaha nyata untuk menegakkan kesejahteraan/ kedamaian. Seperti halnya pada hari Penyekeban maka pada hari inipun belum ada kegiatan yang berupa upacara atau persembahan dan masih meru­pakan persiapan-persiapan saja.
 Penampahan Galungan.
Pada hari Selasa Wage uku Dungulan disebut Penampahan Galungan. Bagi masyarakat, hari ini merupakan saat untuk memotong (nampah) khewan seperti ayam, itik, terutama babi.
Pada hari ini barulah tampak adanya kegiatan-kegi­atan yang menyeluruh diantara anggota keluarga; Kaum pria sejak pagi hari telah memotong babi serta khewan lainnya, kemudian membuat olahan (sate, lawar, urutan dan lain-lain), dilanjutkan dengan membuat Penjor yang dipasang pada sore hari. Kaum wanita sibuk membuat sesajen (metanding), memasang busana pada bangunan-bangunan suci dilengkapi dengan caniga serta gantung-gantungan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan sejak hari Penyekeban dan Penyajaan/ Penyajahan.
Seperti telah dikemukakan bahwa sejak hari Penyekeban serta hari Penyajaan Sanghyang Kala Tiga berusaha untuk menggoda serta menaklukkan manusia dan pada hari ini (hari panampahan) Be­liau berusaha untuk menjadikan makanannya (nadah).
’’Makan” (nadah) disini mempunyai pengertian takluk, berada dalam kekuasaannya sehingga kata- kata serta tingkah laku manusia diatur oleh Sang­hyang Kala tidak berdasarkan p i k i r a n/m a n a h. Orang yang telah takluk, berada dalam kekuasaan Sanghyang Kala akan berbuat, berkata mengikuti kehendaknya, menimbulkan kekacauan, kesedihan, penderitaan atau bertentangan dengan d h a r m a, karena memang demikian kodrat-nya.

Misalnya: Dewi Kunti telah tega menyerahkan pu- tranya (Nakula) kepada Dewi Durga; Duryadana sampai hati membuang saudara sepupunya (panda­wa) sampai teijadi pertumpahan darah dan masih banyak cerita-cerita lainnya.

Tetapi seseorang yang menyadari dirinya dan ke­wajiban sebagai manusia, akan bersikap waspa- da, berusaha untuk menaklukan Sanghyang Kala serta Bhuta Kala lainnya, kemudian mengembali­kan kepada asal-NYA.
Kewajiban sebagai manusia adalah menegakkan ke­sejahteraan, dan kedamaian bagj umat Hindu di­sebut d h a r m a serta y a d n y a sebagai pe­laksanaannya.

Yadnya mempunyai arti yang luas dan cepat dilak­sanakan sesuai dengan desa, kala, patra.
Adalah suatu kenyataan bahwa pada hari Pe­nampahan berbagai jenis jajan, buah-buahan, masak­an (olahan) telah tersedia, siap untuk dimakan. Tetapi mereka yang sadar akan kewajiban, tidak se­gera menikmati makanan tersebut, melainkan tetap mendahulukan kepentingan yadnya.
Seperti diketahui sejak Penyekeban (Minggu Paing uku Dungulan) Sanghyang Tiga Wisesa telah turun ke dunia dalam wujud Kala. Oleh karena itu yad­nya yang diselenggarakan sesuai pula dengan sifat Beliau yaitu bhuta-yadnya.

Jadi pengertian n a m p a h pada hari penam­pahan tidak semata-mata memotong khewan tetapi yang lebih penting artinya adalah menyucikan, membebaskan Sanghyang Kala Tiga sehingga kembali pada wujud semula yaitu Ida Sanghyang Tiga Wisesa/Ida Sanghyang Widhi sebagai Pencipta, Pe­melihara dan Pemeralina. Dengan demikian keharmonisan, kesejahteraan Buwana-agung dan Buwana alit dapat diwujudkan, berarti pula d h a r m a dapat ditegakkan.

Bagi masyarakat Hindu di Bali penyucian tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan upacara Bhuta- yadnya terutama dipekarangan rumah dan terhadap diri sendiri termasuk pusaka-pusaka berupa senjata. Setelah menyelenggarakan upacara tersebut dilan­jutkan dengan memasang p e n j o r, didepan rumah,
sebagai tanda kemenangan dharma melawan adharma.

Ditinjau dari segi fungsinya, penjor adalah sebagai lambang pertiwi/gunung dengan segala hasil yang memberi keselamatan, serta kesejahteraan bagi kehi­dupan di dunia, sedangkan sesajen beserta perleng­kapan lainnya merupakan pula ’’sarin-tahun” yang dipersembahkan kehadapan Ida Sanghyang Tiga Wisesa/Ida Sanghyang Widhi, yang dalam Siwaisme disebut S i w a dan bagi masyarakat Hindu di Bah disebut Bhatara diGunung Agung.

Upakara yang dipergunakan;

a.  Untuk di pekarangan rumah.

Di halaman Merajan menghaturkan segehan agung dan nasi sasah berwarna putih 5 tanding, ber­warna merah 9 tanding, berwarna hitam 4 tan­ding, ikannya daging babi yang dimasak men­jadi ”urab-barak”, ”urab putih”, digoreng, sate, disertai dengan sambel dan garam, kemudian di- lengkapi dengan 3 buah canang genten/yang lain dan tetabuhan tuak,arak, berem serta air. Demikian pula dihalaman rumah dan halaman pintu masuk pekarangan menghaturkan sesajen yang sama.
Sesajen tersebut dihaturkan kehadapan Sang Buta Galungan baik yang ada dihalaman merajan, rumah maupun didepan pintu masuk pekarangan. Oleh karena itu ada yang menghaturkan disatu tempat yaitu di halaman rumah, dilengkapi de­ngan sanggah bersusun tiga masing-masing berisi sesajen berupa nasi sasah berwarna putih, ikan serta perlengkapan lainnya seperti diatas.

Sesajen ini dihaturkan kehadapan Sanghyang Kala Tiga. Upacara ini
diselenggarakan pada siang hari sebelum makan siang/sebelum menghaturkan banten jotan (banten saiban).

b. Untuk Senjata dan diri sendiri.

Upacara diselenggarakan pada siang hari atau pada sore hari sebelum matahari terbenam (sandikala), bertempat di halaman rumah.
Upakara-nya adalah: 
byakala, prayascita dan sesayut peminyak kala.
Upakara ini terlebih dahulu dihaturkan kehadap­an Sang Bhuta-Tiga (Sanghyang Kala Tiga) ke­mudian barulah ditujukan kepada senjata dan diri sendiri yaitu semua keluarga yang sudah meketus, lalu dilanjutkan dengan memasang penjor, lamak/ caniga kemudian bersembahyang di Merajan atau disuatu Pura yang telah ditentukan. Pemasangan penjor dapat pula dilakukan setelah mengha- turkan labahan/segehan kepada Sang Bhuta Ga- lungan, demikian pula pemasangan lamak/caniga serta gantung-gantungan pada pelinggih.

Penjelasan.

b.l. Sesayut pemiyak-kala.
Alasnya adalah sebuah aled-tebasan, diatasnya diisi dua gundukan nasi (kanan dan ki­ri) dibatasi dengan dua buah ujung pandan wong) yang letaknya berlawanan arah, di- lengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk- pauk (rerasmen), sampian nagasari, penye- neng, pengeresikan dan canang-genten/yang lain.
Ada pula yang melengkapi dengan sesayut lara-melaradan yaitu perlengkapannya seper­ti diatas tetapi nasinya tidak berbentuk gun­dukan, tidak memakai pandan-wong melain­kan dialasi dengan tiga buah tangkih disusuni lauk-pauk.
Letak tangkih sedemikian rupa sehingga membentuk segi-tiga (pangkal tangkih dile­takkan ditengah-tengah).
Khusus untuk senjata dipergunakan sesayut pasupati seperti didepan (Tumpek Landep).

.2. P e n j o r.
Secara umum p e n j o r dibuat dari se batang bambu yang ujungnya melengkung kebawah dihiasi dengan janur/ambu, daun- daunan, buah-buahan, bunga dan pada ujungnya digantungi hiasan yang khusus dibuat dari janur/ambu.
Penjor dipasang pada tempat-tempat upacara atau disepanjang jalan menuju tempat upacara. 
Ditinjau dari segi fungsinya ada dua enis penjor yaitu:
                Penjor berfungsi sebagai dekorasi. Dalam hal ini yang diutamakan adalah keindahan dan bertujuan untuk memeriahkan upacara. Oleh karena itu perlengkapan termasuk hiasan, jumlah serta penempatannya tidak ditentukan dan dapat dipergunakan pada upacara-upacara baik yang bersifat umum/ nasional ataupun keagamaan.
-                  Penjor yang mempunyai nilai spiritual dalam upacara keagamaan.
Yang dimaksud disini adalah penjor yang mempunyai hubungan erat dan arti sim- bolis dalam upacara-upacara keagamaan, misalnya penggunaan Penjor pada hari raya Galungan, piodalan dan sebagainya. Oleh karena itu perlengkapan termasuk hiasan, jumlah serta penempatannya dise­suaikan dengan ketentuan-ketentuan Aga­ma, khususnya Agama Hindu, antara lain
-                  Pada ujungnya digantungi hiasan yang disebut ’’sampian penjor” lengkap dengan pelawa, porosan serta bunga, sedangkan pada bagian pangkalnya kira-kira 175 cm diatas tanah ditempeli sebuah sanggah se­bagai tempat sesajen.
               Untuk hiasan selain mempergunakan janur/ambu serta daun-daunan yang umum, sedapat mugnkin mempergunakan daun cemara, daun endong, daun/bunga perijata, paku-pipid, demikian pula buah- buahannya adalah: padi, jagung, kelapa, ketela, pisang serta pala-bungkah-pala gantung, pala wija lainnya, dilengkapi dengan uang, tebu, beijenis-jenis jajan dan dalam beberapa hal pada ujungnya dilengkapi dengan kain berwarna putih atau sesuai dengan arah mata angin (di arah Timur berwarna putih, di Selatan berwarna merah, di Barat berwarna ku- ning dan seterusnya).             Jumlahnya 1 sampai 11 buah sesuai de­ngan upacara yang diselenggarakan, misalnya: 

Pada hari raya Galungan tiap rumah memasang sebuah Penjor; Pada waktu piodalan di Pura maka pada pintu ma­suk Pura dipasang dua buah penjor (ka­nan dan kiri), pada sanggar pesaksi 1 buah, pada panggungan 1 buah demi­kian pula pada upacara-upacara lainnya. Demikianlah pada hari raya Galungan selain penjor yang dipasang disebelah kiri pintu masuk rumah mungkin juga di­pasang penjor yang berfungsi sebagai de- korasi misalnya di Bale banjar dan tempat tempat keramaian lain. 
Galungan.               
Sehari setelah Penampahan yaitu pada hari Buda Keliwon uku Dungulan disebut Galungan, me­rupakan perayaan kemenangan dharma melawan a-dharma. 
             Bila diperhatikan upacara-upacara yang telah dise­lenggarakan sejak Sugian Jawa sampai dengan Pe­nampahan, adalah merupakan penyucian terhadap tempat tinggal seperti tempat pemujaan termasuk kekuatan-kekuatan sinar-sinar Suci Tuhan, Leluhur yang distanakan pada tempat tersebut, pekarangan rumah, serta penyucian terhadap Sang Hyang Kala Tiga (wujud krodha dari pada SanghyangTri Murthi) dan diri sendiri termasuk s e n j a t a yang dimiliki. Ini berarti penyucian terhadap Buwana agung dan Buwana alit.
              
Upacara yang fungsinya hampir sama adalah dalam rangkaian menyambut Tahun Baru Caka, yang lebih dikenal dengan tawur ke Sanga (ke IX).
                Sebagaimana diketahui untuk menyambut Tahun Baru Caka diselenggarakan pula upacara penyucian terhadap Buwana agung dan Buwana alit.
              Penyucian terhadap Buwana agung (khususnya di Bali) diwujudkan dengan upacara Melasti/Melis se­cara bersama oleh suatu Desa dan Bhuta-yadnya (Tawur).
r.                 Upacara dipusatkan di suatu tempat seperti Pura Bale Agung, dan perempatan jalan (catus-pata), kemudian dilanjutkan di pekarangan rumah dengan mendapatkan ”jatu” dari tempat tersebut, berupa Tirtha, ’’nasin-tawur” dan ’’olahan” (lauk-pauk).
                
                Dengan demikian selain mempunyai tujuan yang berbeda terdapat pula perbedaan dalam penyeleng­garaannya terutama penyucian terhadap Buwana agung, yaitu : Dalam menyambut Tahun Baru Caka upacara dilakukan secara kolektif dengan mengambil obyek dan tempat milik bersama/masyarakat, se­perti benda-benda suci (Pratima) dan catus-pata, sedangkan dalam merayakan kemenangan dharma melawan a-dharma, upacara dilakukan secara indivi­du dengan mengambil obyek dan tempat milik pribadi, misalnya tempat-tempat pemujaan keluarga dan pekarangan rumah, demikian pula sarana be­rupa Tirtha, nasi, serta lauk-pauk diusahakan sendiri.
              ’’Dharma” berasal dari bahasa Sansekerta, urat kata ”dhr”, artinya : ’’memelihara”, ’’mengatur”, ’’memangku”; ’’Dharma” berarti : ’’aturan”, ’’ke­wajiban”, "kebenaran”, ataupun ’’pekerjaan-pekerjaan yang baik”. Kemenangan ’’darma” berarti mengandung kebenaran, terlaksananya ke­wajiban dan pekerjaan-pekeijaan yang baik.
              Bagi umat Hindu kewajiban dan pekeijaan yang baik adalah y a d n y a , sebab yadnya adalah per­buatan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan yang dapat diikuti oleh manusia. Oleh karena itu dalam meraya­kan kemenangan dharma atau merayakan G a- 1 u n g a n , pelaksanaan yadnya merupakan tu­juan utama, walaupun cara/jalan yang ditempuh, materi yang dipergunakan dan obyeknya berbeda-beda.

Tetapi Ida Sanghyang Widhi/Tuhan akan mendekati hamba-NYA sesuai dengan jalan yang ditempuh, seperti disebutkan di dalam Bhagawadgita: 

ye yatha mam prapadyante 
tams tathai ’va bhajamy aham 
mama vartma ’nuvartante 
manusyah partha sarvasah (IV.ll).

Artinya :
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang men­dekati, dengan jalan yang sama itu Aku meme­nuhi keinginan mereka.
melalui banyak jalan manusia mengikuti jalan- KU, O Partha.

Demikianlah pada hari Galungan masyarakat Hindu di Bali akan berusaha melaksanakan yadnya sebanyak-banyaknya diwujudkan dengan persem­bahan/pengorbanan berupa sesajen-sesajenyang ditu­jukan ke hadapan para Dewa, kekuatan-kekuatan Alam, Leluhur, binatang-binatang (gumatap-gumitip, sarwa prani) bahkan apa saja yang dianggap mem­bantu, menemani hidupnya dan berada di sekitar­nya, seperti : tempat sirih, alat-alat bekerja di dapur,^ di sawah, menenun, menumbuk-padi, sapu, saluran air (song-sombah), kendaraan dan sebagainya. Upacara hendaknya dilakukan sebelum matahari condong ke Barat.
upakara-upakara yang dipergunakan;

a. Pada pelinggih-pelinggih seperti : Padmasana, Kernulan,
Taksu, Ibu, Penunggun karang dan yang setingkat
termasuk pada penjor, menghaturkan:

1. Tumpeng-penyajaan, adalah : Dua (2) buah tumpeng kecil dilengkapi dengan rerasmen/lauk-pauk), jajan, buah-buahan, tebu, bantal, dialasi dengan sebuah ceper dan disusuni sebuah sampian-plaus berisi pelawa, porosan serta bunga.

2. Canang-meraka, adalah berjenis-jenis jajan buah- buahan, bantal, tape, serta tebu dialasi sebuah ceper/ yang lain dan sampiannya berbentuk kojong disebut sri-kekili kemudian disusuni sebuah canang-genten/ yang lain.

3. Penek-wewakulan (jerimpen-dewa), adalah sebuah tumpeng yang agak besar dan perlengkapan lainnya seperti tumpeng-penyajaan (a.l) hanya saja sampian­nya disebut sampian-jaet.

4. Ajuman, adalah sebuah taledan/yang berisi dua buah penek/untek, dan perlengkapan lainnya seperti tumpeng-penyajaan (a.l), hanya saja sampiannya disebut sampian sode (bentuknya lebih besar dari sampian plaus).

5. Pengeresikan, adalah sebuah ceper berisi 7 jenis alat penyucian umpama : daun kembang sepatu yang disisir, jajan yang dibakar, tepung beras berwarna putih, kuning,  minyak wangi, tepung-tawar (ramuan daun dadap, kunir serta beras yang ditumbuk) dan bija; Tiap jenis dialasi sebuah tangkih kecil/celemik, kemudian disusuni sebuah sampian yang di­sebut payasan.         /
(Dibeberapa tempat mungkin saja dipergunakan alat-alat lain yang fungsinya sama)

b. Di Penaruman/pesambiyangan menghaturkan:

1. Tumpeng-pengambyan, yaitu sebuah taledan/yang lain berisi dua buah tumpeng yang agak besar dan perlengkapan lainnya seperti (a.l.), hanya saja sam- piannya disebut sampian-tangga/sampian-tumpeng, dilengkapi dengan tipat pengambeyan serta tulung- pengambeyan berisi nasi disusuni rerasmen.

2. Jerimpen, adalah sebuah keranjang dengan garis tengah kira-kira 15 cm, dan tingginya 150 cm — 160 cm, di bagian atasnya ditempeli beberapa jenis jajan, misalnya: sirat, begina, kekiping atau yang lain, kemudian di atasnya diisi sampian disebut sampian jerimpen; Di bagian bawahnya ditutupi kain atau daun enau yang dijahit dan dialasi wakul. Jerimpen ini disebut jerimpen-jaja, ada pula yang disebut ”jerimpen-be” (jerimpen ulam” yaitu be­berapa jenis s a t e ditancapkan pada sepotong batang pisang.
Pada hari Galungan sedapat mungkin dibuat dari sate babi, sebagaimana disebutkan dalam lontar

Sunarigama.
Jenis-jenis sate yang umum dipergunakan adalah:
            Sate lembat, dibuat dari daging babi yang diha- luskan dicampur dengan kelapa parut serta bum- bu;
Sate-asem dibuat dari jeroan Gejeron seperti: usus, hati dan betuka);
             Sate kekuwung dibuat dari kulit dan lemak yang melekat padanya.

3. Gebogan, adalah sesajen yang perlengkapannya seperti canang-meraka (a.2), hanya saja jumlahnya jauh lebih banyak, jajan-jajan serta buah-buahnya serba utuh disusun rapi sehingga tinggi demikian pula sampiannya dibuat agak besar dan indah.

4. Pajegan, adalah nasi berbentuk pengkonan (gunduk­an) dialasi dengan dulang disertai lauk-pauk misal- nya kacang-kacang, saur/serundeng, ikan laut/teri, telur dadar, daging yang digoreng, pesan-lawar, se- sate, garam, sambel dan lain-lainnya.
Di atasnya disusuni sebuah canang pengeraos (ada pula yang menyebut pesucian) yaitu dua buah tale- dan/ceper; Sebuah diantaranya diisi sirih, kapur, gambir, pinang serta tembakau, sedangkan yang lain berisi bija, air cendana masing-masing dialasi dengan tangkih/kapu-kapu dan bunga yang ha- rum.
Sirih kapur serta gambirnya ada yang menjadikan lekesan ada pula yang dibiarkan lembaran sedangkan perlengkapan lainnya masing-masing dialasi dengan sebuah kojong.

5. Ayaban terdiri dari: Peras-penyeneng, sesayut pengambean atau yang lebih besar dilengkapi de­ngan pengeresikan, penyeneng,. dan lain-lain sesuai dengan tingkatan ayaban tersebut.

6. Perlengkapan lainnya adalah : cecepan (kendi berisi air), penastan (mangkuk berisi air), tigasan (beberapa lembar kain, tetabuhan (tuak, arak, berem), dan dupa/asep.
Upakara-upakara ini dihaturkan setelah menghatur- kan sesajen pada pelinggih-pelinggih dan ditujukan kehadapan Ida Sanghyang Widhi dalam berbagai prabawa-NYA yang berstana ditempat pemujaan tersebut, misalnya Sanghyang Guru Kemulan (Bha- tara Hyang Guru, Bhatara Ibu) demikian pula untuk di Perhyangan-perhyangan.

c.  Untuk di kamar-kamar/di atas tempat tidur, tempat memasak, mengambil air, menyimpan beras, padi, di Pengulun-sawah dan lain-lain yang setingkat, meng- haturkan: Tumpeng-penyajaan, canang meraka dan ajuman.

d. Kepada binatang-binatang (gumatap-gumitip sarwa pra ni), alat-alat yang dianggap telah membantu serta ke­kuatan-kekuatan lainnya diberikan sesajen : Tumpeng^penyajaan dan canang meraka atau seperti di atas,/ sesuai dengan keadaan.
Sesajen-sesajen ini ditujukan kepada para Sedahan yang mengatur atau memberi kekuatan kepada alat- alat tersebut, umpama : Sedahan Tetani/rayap, Sedah­an semut, Sedahan perabot-paon, sedahan perabot tu- nun dan lain-lainnya.

e.  Kehadapan Sanghyang Galungan (Sanghyang Darma) ada pula yang menyebutkan Bhatara Sarining Ga­lungan menghaturkan :
Sesajen seperti pada a.l sampai dengan a.5, ditambah­kan dengan gebogan, (b.3), pajegan (b 4), penyeneng dan tumpeng yamg agak besar 2 buah dialasi dengan ta- ledan dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk- pauk dan lainnya seperti pada pengambeyan tetapi tidak memakai tipat dan tulung-pengambeyan, ke­mudian dilengkapi pula perlengkapan seperti pada b.6. Sesajen-sesajen ini ditempatkan pada salah satu ”bale”, biasanya di Bale-daja atau di salah satu kamar, sebab keesokan harinya akan ditatab yaitu setelah bersembahyang di Merajan. Tujuannya adalah untuk mohon agar mendapatkan berkah dari Beliau (Sang­hyang Darma).
Setelah itu barulah sesajen-sesajen lainnya diturunkan dari tempatnya ( nyurud).

f. Untuk di lebuh/tempat-tempat menghaturkan segehan dilengkapi pula dengan tumpeng-penyajaan dan canang-meraka seperti pada (d).

Perlu diingat bahwa setiap menghaturkan sesajen sedapat mungkin dialasi dengan caniga serta gantung-gantungan setidak-tidaknya ’’pelawa” (daun-daunan).
Demikianlah setelah menghaturkan semua sesajen lalu bersembahyang dan mohon
 wangsuh pada sebagaimana biasa dan keesokan harinya pagi-pagi setelah menyucikan diri serta bersembahyang lalu natab banten yang ada di kamar/di Bale-daja mohon berkah kehadapan Sanghyang Sarining Galungan/Sanghyang Darma.
           Demikian rangkaian dari pada Hari Raya Suci Galungan yang dikutip dari buku upacara Dewa Yadnya yang disusun oleh Ny.I.G.Ag.Mas Putra.
Semoga kita dapat memahami,dan menerapkannya.

Sabtu, 17 Mei 2014


Kawitan Wargasari.

Purwakaning anggripta rum,
Ning wana ukir,
Kahadang labuh kartika,
Penedenging sari,
Angayom tangguli ketur,
Angriring jangga mure,

ARTINYA :

Permulaannya menggubah keindahanya,                                                                                                        Hutan pegunungan,
Kebetulan mulai jatuh hujan bulan oktober/kapat,
Sedang lebatnya musim bunga rimbun
Pohon tangguli gending sebagai klambu
Bunga gadung mengurai.

Sukianya Arjja winangun,
Winarna sari,
Ra rumrumning puspa priyaka,
Ingoling tangi,
Sampuning riris sumaru,
Mungwing srengganing rejeng.

ARTINYA :

Keindahannya baik dibangun,
Diumpamakan badan,
Kehindahannya bunga sulasih,
Merangkul pohon tangi,
Setelah hujan tersebar,
Dipuncaknya batu-batu lahar.

Senin, 21 April 2014

AJARAN-AJARAN DHANGHYANG NIRARTA.

Dhanghyang Nirarta merupakan orang ke tiga sebagai peletak dasar 
Dharma Hindu Bali,selain dua orang pendahulunya yaitu yang pertama adalah Rsi Markandya,dan yang kedua adalah Empu Kuturan.
Sebelum membahas ajaran-ajaran Dhanghyang Nirarta ( Bhatara sakti
wawu rawuh ) terlebih dahulu kita ketahui:

RIWAYAT DHANGHYANG NIRARTA.

Dhanghyang Nirarta berasal dari Majapahit,mula-mula diam di Daha(
Kediri ),di sana Beliau menikah dengan Dyah Komala/Ida Istri Mas Daha, anak dari Dhanghyang Swamba dengan Dewi Sunia,yang mempunyai seorang putri yaitu Dyah Komala.Mereka adalah Siwa Kula
yaitu pemeluk Agama Siwa.Dhanghyang Swamba telah meninggal,jadi tinggal janda almarhum dengan anaknya Dyah Komala.Danghyang Nirarta beralih dari Jina Kula ke Siwa Kula sebagai syarat dari
janda mendiang Dhanghyang Swamba,untuk memenuhi keinginan Dhanghyang Nirarta menikahi Dyah Komala.
Dan juga atas seijin kakaknya Dhanghyang Angsoka,juga saran dari 
Dhanghyang Panawasikan Dhanghyang Nirarta beralih dari Jina Kula 
ke Siwa Kula, untuk melanjutkan keturunan Bregu wangsa.
Mereka melahirkan seorang putri bernama Ida Swabhawa, dan sorang putra bernama Ida Wiraga Sandhi atau Ida Kulwan.
Saat itu Daha dimasuki oleh Agama Islam,Dhanghyang Nirata juga 
ikut mempelajari Agama Islam,saking mahirnya,maka Beliau dijuluki Imam Mahdi.Beliu juga dinamakan si Jenar, karena bau keringatnya
harum. Jenar adalah bunga segar yang harum semerbak.Dengan demikian Danghyang Nirarata faham betul dengan tiga Agama yaitu:
Agama Buddha Mahayana,Agama Siwa.dan Agama Islam.
Karena Dhanghyang Nirarata tidak mau masuk agama islam maka disebut orang kafir yang harus dilenyapkan,sehingga Beliau serta
anak-anaknya,tanpa istri(tidak mau ikut) pindah ke Pasuruhan.
Di Pasuruhan oleh pamannya yakni  Dhanghyang  Panawasikan,
Dhanghyang Nirarata dijodohkan dengan anaknya yang bernama Dyah
Sanggawati, dan mempunyai putra dua orang yaitu :
Ida Wayahan Lor dan Ida Wiyatan.
Dhanghyang Nirarta beserta keempat putranya pindah ke BLAMBANGAN
karena Beliau di kejar ke Pasuruan sama halnya dengan di Daha.
Di Blambangan Dhanghyang Nirarta dan keempat putranya diterima oleh penguasa kerajaan Blambangan yakni Sri Aji Dalem Juru.
Dhanghyang Nirarta dijodohkan dengan adiknya Sri Aji Dalem Juru
yang bernama Ida Istri Patni Kaniten,kemudian mempunyai tiga orang putri yaitu : 
                    Ida Istri Rai( Ida Swabhawa),
                    Ida Wetan ( Ida telaga )
                    Ida Kaniten.

Karena keringat Dhanghyang Nirarta berbau harum,banyak para permaisuri Sri Aji Dalem Juru tertarik kepadanya.Inilah yang menyebabkan Dhanghyang nirarta didakwa menyebar guna-guna dan
harus di " rejek " (basmi).Sehingga Dhanghyang Nirarta beserta
istri dan ketujuh orang anaknya menyebrangi selat bali,
Dhanghyang Nirarta menyebrang memakai Labu yang besar (waluh kili)sedangkan istri dan anak-anaknya memakai sebuah sampan yang
bocor, dan mendarat di Perancak.Dalam perjanan menuju ke timur
melalui hutan yang sangat lebat Beliau bertemu dengan seekor naga
yang membuka mulutnya,dan Beliau masuk ke dalam mulut naga itu.
Disana beiau dapati sebuah tunjung yang sudah kembang,lalu dipitiknya,begitu beliau keluar maka kulit beliau berubah menjadi
hitam, istri dan anaknya tidak dapat mengenal beiau lagi,lalu lari sekuat-kuatnya.
Akhirnya beliau beruntung dapati istri dan anak-anaknya,kecuali
anaknya yang tertua jadi " Dewa Melanting " ditempat iu juga terjadi hal yang aneh,banyak cacing berganti rupa dan mereka menerangkan bahwa mereka dapat berganti rupa tak lain sebabnya ialah karena ilmu gaibnya Dhanghyang Nirarta.Setelah selesai menyembah mereka menghilang. Mereka itulah yang diam dipulaki dan disembah orang-orang di Melanting.
Ajaran atau nasehat nasehat Dhanghyang Nirarta untuk meningkatkan keimanan umat Dharma Hindu Bali,termuat dalam GAGURITAN TUTUR SEBUN BANG KUNG, Yang ditulis/disurat dalam perjalanan beliau dari Daha menuju Pasuruhan dan Blambangan.

GEGURITAN  : ADALAH SESURATAN (TULISAN) BERBENTUK PUPUH (PUISI)
             YANG ISINYA ADALAH UNTUK MENGGEMBIRAKAN HATI YANG                        MELAGUKAN SERTA YANG MENDENGARKAN.
TUTUR      : NASEHAT-NASEHAT UNTUK MENINGKATKAN KEIMANAN UMAT
             DHARMA HINDU BALI.
SEBUN      : ARTI SEBENARNYA ADALAH SARANG BINATANG UNTUK BER -
             TEDUH,MENGASUH ANAK-ANAKNYA.
             TERKAIT DENGAN KATA GEGURITAN DAN TUTUR MAKA YANG
             DIMAKSUD DENGAN SEBUN ADALAH KUMPULAN TULISAN-                            TULISAN BERISI NASEHAT-NASEHAT UNTUK MENINGKATKAN                        KEIMANAN UMAT DHARMA HINDU BALI. 
BANG       : ARTINYA MERAH ADALAH WARNA DARI HYANG BRAHMA,DENGAN
             SAKTINYA ADALAH DEWI SARASWATI,DEWINYA DHARMA AJI 
             DAN SASTRA-SATRA AGAMA.
KUNG       : ARTINYA TRESNA ASIH ATAU CINTA KASIH,YANG DIDALAM 
             HINDU TERKENAL DENGAN " TATWAM ASI " 

Dalam geguritan pupuh Sinom dasar-dasar Dharma Hindu Bali yang diletakan
oleh Dhanghyang Nirarta adalah :
- Hyang Nur yang menciptakan :
  - Bumi langit dengan segala isinya yang disebut Bhuwana Agung.
  - Manusia yang disebut Bhuwana Alit.  
  - Hyang Nur adalah hyang Brahma.
  - Hyang Brahma dan Hyang Suksma adalah sebutan lain dari Sanghyang 
    widhi.
Dalam geguritan pupuh demung no 37 Dhanghyang Nirarta mengajarkan kepada umat Dharma hindu Bali,agar mempelajari,menekuni,melaksanakan serta mengamalkan Panca Sraddha Dharma Hindu Bali.
Panca Sraddha ini adalah keimanan yang utama dan pertama bagi umat Dharma Hindhu Bali.
Panca Sraddha adalah " igama " nya Dharma Hindu Bali.
Saat ngastiti kehadapan shanghyang widhi,haruslah disertai dengan Panca Yadnya yakni :
1. Dewa Yadnya
2. Rsi Yandya
3. Manusa Yadnya
4. Pitra Yadnya
5. Bhuta Yadnya.
Yadnya yang digelar disertai dengan sarananya berupa bebanten atau bebali.
Ngastiti bhakti kehadapan Shanghyang Widhi dengan menggelar Panca Yandya inilah dinamakan " agama " Dharma Hindu Bali.
" Rahayu " itulah tujuan utama umat Dharma Hindu Bali saat ngastiti bhakti kehadapan Shanghyang Widhi, inilah yang dinamakan " ugama " di dalam Dharma Hindu Bali.
  

Jumat, 18 April 2014

AJARAN-AJARAN  MPU KUTURAN YANG MENJADI DASAR DHARMA HINDU BALI.
Om Swastyastu .
Mpu Kuturan adalah seorang maha guru agama dan menganut paham Tri
Murti ( Brahma, Wisnu, dan Iswara atau Siwa ).Pada sekitar tahun 1005 masehi, datang langsung dari jawa menuju pulau Bali dan berlabuh di Teluk Padang,di daerah Karangasem,yang sekarang bernama Padangbai.Ditempat ini Mpu Kuturan mendirikan pasraman dan kini menjadi Pura yang bernama Pura Silayukti.
Mpu Kuturan menjadi Rsi Senopati Raja Bali jaman Sri Dharma Udayana Warma Dewa.
Sebagai seorang mahaguru agama dan Rsi Senopati,Mpu Kuturan mengajarkan :
- Silakarma dan pengetahuan makro kosmos dan mikro kosmos (buana
  Agung dan Buana Alit/dunia besar dan dunia kecil) , termasuk
  Ketuhanan,jiwatma manusia dan karma phala.
- Menggunakan Bahasa Bali untuk mantra-mantra di dalam melakukan
  upacara keagamaan,sebagai pengganti bahasa Sansekerta.
- Mengajarkan membangun perhyangan-perhyangan dan pelinggih-peli-
  gih ( banguinan suci ).
- Pada setiap desa yang telah tertib ( Rsi Markandya )dibangun
  pura Kahyangan Tiga yakni :
  - Pura Desa sebagai stana Hyang Brahma.
  - Pura Puseh sebagai stana Hyang Wisnu dan
  - Pura Dalem sebagai stana Hyang Iswara / Siwa.
- Yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap Kahyangan Tiga adalah
  DESA ADAT PAKRAMAN,yang anggotanya adalah keseluruhan warga 
  desadesa adat setempat.
- Oleh Mpu Kuturan diangkat warga Pasek sebagai pelaksana pemeri-
  tahan berdasarkan keagmaan, dan pemimpinnya disebut Bendesa.
- Mpu Kuturan mengharmoniskan dan menyatukan ke sembilan sekta 
  yang ada di Bali,yang kemudian semuanya terakomudasi didalam
  Dharma Hindu Bali,seperti :
  - Sekta Siwa Sidhanta,sekta Boddha atau Sogata dan sekta 
    Wesnawa,bersatu di dalam TRI SADHAKA, yakni :
    - Padanda
    - Padanda Boddha, dan 
          -   Rsi Bujagga Wesnawa.
                Yang masing-masing memiliki kewenangan sendiri-sendiri
seperti yang tercantum didalam lontar Ekapratama sebagai berikut:
" Sang Hyang Brahma Aji,maputra tetiga,panua Sang Siwa,pamadya Sang Boddha,pamitut Sang Bujagga.
Sang Siwa kapica Angninglayang amratista akasa.
Sang Boddha kapica Angnisara amratista pawana.
Sang Bujangga kapica Angni Sinararasa amratista sarwa prani.
Iti ngaran Sang Tri Buana katon ".
Artinya :
Sang Hyang Brahma berputra tiga,tertua Sang Siwa,kedua Sang Boddha,terkecil Sang Bujangga.
Sang Siwa dianugrahi Agninglayang,mensucikan akasa,Sang Boddha
dianugrahi Agnisara,mensucikan atmosftr,Sang Bujangga dianugrahi
Agni Sinararasa mensucikan sarwa prani.Ini dinamakan Sang Tri 
Bhuwana katon. Disamping itu,pedanda Siwa memiliki lagi kewenangan yakni " sida de nira pengilangan letuhing atmaning wwang " Kewenangan ini adalah warisan dari Ida Sang atapa Ender
(Ida Pedanda Sakti Telaga ) yang telah menerima tiga macam penugrahan dari bhatari Durga Dewi ( Sastra Yama Tatwa ).
- Dengan adanya Sang Tri Bhuawa Katon,maka sekta Pasupata dan       sekta   Brahmana terlebur di dalam Dharma Hindu Bali.
- Sekta Batrawa lenyap dari Dharma Hindu Bali,karena ajarannya 
  bertentangan dengan UGAMA DHARMA HINDU BALI.
- Keyakinan sekta Sora,yang memuja surya,juga terakomodasi di
  dalam Dharma Hindu Bali.
  Pada setiap upacara yadnya selalu mendirikan sanggar Agung 
  atau sanggar surya.Juga dalam kramaning sembah,sembah yang
  kedua ditujukan kepada Siwaraditya yang merupakan saksi per-
  tama dan utama di jagat Raya ini. 
- Sekta Rsi,Umat Dharma Hindu Bali mengenal Catur Asrama yaitu:
  - Brahmacari
  - Grahasta,
  - Bhiksuka, dan
  - Wanaprasta.
    Setiap Umat Dharma Hindu Bali berhak dan berkewajiban untuk 
    melaksanakn bhisuka dengan jalan melaksanakan dwijati,dan ber
    gelar Padanda,Rsi,Bhagawan,Dukuh atau Mpu.
Inilah keyakinan sekta Rsi yang terakomodasi di dalam Dharma Hindu Bali.
- Sekta Ganapatya terlebur di dala Dharma Hindu Bali dengan bukti
  Masih dilaksanakannya caru Rsi Gana.
  Masih memasang kober pada sangah cucuk di lebuh takala sebelum
  pengereupukan pada sore hari.
- Setiap suatu pekarangan rumah harus ada sanggah kemulan,taksu,
  dan tugu atau pengerurah yang umumnya disebut "sanggah atau 
  pemerajan ".
- Dalam melaksanakan upacara Mpu Kuturan hanya mempergunakan "
  Asep menyan majagau " yakni :
  - Tirta ( apah = ireng = wisnu )
  - dupa atau dipa ( agni =teja = abang = Brahma), dan 
  - puspa segar yang harum ( akasa = panca warna = siwa =Iswara).
Asep menyan majagau inilah merupakan bebali.

Demikian ajaran-ajaran Mpu Kuturan yang menjadi dasar Dharma Hindu Bali, yang sampai sekarang masih dilaksanakan.
Om Santih, santih,santih Om.